Mohon tunggu...
Yustinus Sapto Hardjanto
Yustinus Sapto Hardjanto Mohon Tunggu... lainnya -

Pekerja akar rumput, gemar menulis dan mendokumentasikan berbagai peristiwa dengan kamera video. Pembelajar di Universitas Gang 11 (UNGGAS)

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Adipura dan Retorika Kota Bersih

9 Juni 2014   17:49 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:33 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Empat tahun lalu ketika masih ikut mengelola sebuah terbitan dalam bentuk Newspaper Insert, saya blusukan ke beberapa TPA untuk menulis tentang pengelolaan dan pengolahan sampah.Ketika mencari bahan mentah dengan googling, saya menemukan satu blog yang menuliskan bahwa TPA di sebuah kota kecil itu tidak sebagaimana biasanya, kotor dan berbau, melainkan tertata rapi, sampah tidak menumpuk ada ruang yang lapang sehingga bisa dipakai sebagai tempat rekreasi.

Saya tidak heran mendapat tulisan testimonial semacam itu, sebab kota kecil itu memang pelanggan penghargaan Adipura.Walikota dan wakilnya sama-sama getol menjaga kebersihan kota. Konon setiap SKPD diberi tanggungjawab untuk menjaga kebersihan di ruas jalan tertentu. Tak heran jika sebelum berangkat ke kantor, kepala SKPD akan berpatroli di sepanjang ruas jalan yang menjadi tanggungjawabnya. Dan jangan kaget kalau bertemu dengan kepala dinas kebersihan dan pertamanan, yang tampilannya tidak seperti kebanyakan pejabat lainnya berbaju safari. Kepala dinas kebersihan dan pertamanan lebih banyak memakai baju lapangan, bersepatu bot dan bertopi koboi. “Tugas saya memang di lapangan jadi ya harus tampil seperti ini, masak bersih-bersih dengan baju safari”, begitu katanya ketika ditanya perihal baju seragamnya.

Kota yang bersih, nyaman , indah dan tertata rapi adalah impian setiap warga. Kondisi sebuah kota adalah salah satu indikator atau cermin tingkat peradaban dari sebuah masyarakat. Peradaban tentu saja tidak bisa dicapai hanya dengan kerja-kerja jangka pendek, pengerahan sumberdaya besar-besar secara parsial yang hanya ditujukan untuk memperoleh sebuah penghargaan, sebut saja Adipura.

Tidak sedikit kepala daerah dalam jangka waktu tertentu begitu getol menyuarakan kebersihan wilayahnya, melakukan berbagai aksi bersih-bersih kota, memberlakukan ini dan ituuntuk menyambut datangnya tim penilai Adipura. Dan kelak jika penghargaan Adipura diperoleh, maka piala itu akan diarak, ditempatkan di ruang terhormat atau bahkan di beberapa tempat dibuatkan monumennya pada perempatan jalan. Namun setelah itu tidak terlihat sama sekali konsep integrative tentang bagaimana membuat kota itu nyaman secara permanen.

Menjadikan sebuah wilayah sebagai kota yang ideal tentu saja merupakan kerja kebijakan dan program yang sungguh komplek. Meski demikian secara sederhana sebuah kota yang ideal mempunya beberapa aspek utama yaitu :

·Perencanaan yang integratif, terkait dengan ruang dimana ada pembagian yang seimbang menyangkut kebutuhan warga dalam bentuk ruang hunian, ruang komersil atau usaha baik bagi investasi maupun masyarakat, ruang perlindungan dan ruang publik.

·Infrastruktur yang memadai, dalam berbagai bentuk mulai dari jalan, layanan transportasi public, kesehatan, pendidikan, ibadah, energy, air bersih, saluran air dan buangan limbah. Kota bukanlah ruang statis, maka kebutuhan terhadap infrastruktur harus diperhitungkan jauh ke depan untuk mengantisipasi pertumbuhan.

·Interkoneksi, keterhubungan atau harmonisasi dengan wilayah disekitar kota juga merupakan aspek utama. Tidak ada kota yang bisa hidup sendiri, terpisah dari wilayah di sekitarnya. Apa yang dilakukan di kota itu atau tetangga bisa saling mempengaruhi. Banjir misalnya bisa jadi terjadi akibat perilaku wilayah di sebelahnya.

Terlalu sering kita menyaksikan selebrasi-selebrasi karena anugerah penghargaan tertentu. Padahal semestinya penghargaan seharusnya menjadi tanda awas, sekaligus mandat untuk tidak lagi menampilkan wajah sebuah kota mendadak jadi ‘bersih’.Penghargaan Adipura misalnya adalah sebuah pertanyaan terus menerus “seberapa lama bersih akan bertahan?, “wilayah atau bagian kota mana saja yang bersih?. Jangan sampai bersih hanyalah sekedar di etalase, layaknya menyembunyikan debu di bawah karpet.

Terkait dengan sampah misalnya, seperti apa menejemennya, yang meliputi bukan hanya pengelolaan tapi juga pengolahan atau dalam bahasa lain kerap disebut sebagai pengelolaan dan pengolahan yang integratif. Konsep yang bukan hanya menangani aspek teknis belaka melainkan juga bagaimana menumbuhkan budaya bersih di masyarakat.

Konsep yang integratifdan holistikmenjadi penting agar target bersih bukan semata target jangka pendek, untuk kepentingan politik tertentu, memupuk prestasi kepala daerah agar punya amunisi untuk mencalonkan diri kembali pada periode berikutnya.

Penghargaan Adipura, bukanlah pil aspirin yang menyembuhkan pening kepala. Melainkan semacam insentif bagi pengambil kebijakan dan warga untuk menelisik lebih dalam pada tujuan yang lebih fundamental menyangkut manajemen sampah, limbah, tanah dan juga air serta isu-isu global lainnya menyangkut lingkungan hidup dan kwalitasnya yang tentu saja tidak cukup hanya sekedar ditanggapi dengan aksi bersih-bersih ramai-ramai di hari tertentu.

Jadi untuk kota-kota peraih Adipura, tak perlu larut bersuka ria terlalu lama. Tak perlu Adipura disambut dengan gegap gempita, menjejerkan anak-anak sekolah di sepanjang jalan yang dilalui oleh anugerah itu dalam perjalanan dari Jakarta ke lemari kaca di ruang kerja kepala daerah. Dan urungkan juga niatan untuk kemudian membuat piala kecil itu menjadi besar dengan mendirikan tugu atau monumen replikanya di perempatan jalan.

Jadikan Adipura sebagai peluit yang membangunkan semua pihak, mulai dari pengambil kebijakan, aparat birokrasi dan warga untuk segera bersatu menyusun sebuah rencana jangka panjang untuk menata kotanya lebih beradab, yang membuat warganya bisa hidup nyaman, aman dan sehat.

Pondok Wiraguna, 9 Juni 2014

@yustinus_esha

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun