Mohon tunggu...
Yustinus Sapto Hardjanto
Yustinus Sapto Hardjanto Mohon Tunggu... lainnya -

Pekerja akar rumput, gemar menulis dan mendokumentasikan berbagai peristiwa dengan kamera video. Pembelajar di Universitas Gang 11 (UNGGAS)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Si Pandir dan Politik Hitam

10 Juni 2014   17:23 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:25 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semalam ketika duduk-duduk di warung kopi, tiba-tiba saja datang seseorang yang saya dan teman-teman tidak kenal. Orang itu ikut duduk dan langsung angkat bicara yang sama sekali tak nyambung dengan pokok perbincangan saya dan teman-teman.

“Kalau sampai Jokowi jadi presiden, bakal banyak maling di negeri kita ini. Mau jadi apa nanti kalau koruptor merajalela”, begitu semburnya.

Kontan saja saya dan teman-teman lain kaget. Apa yang dimaksud dengan negeri ini bakal rusak kalau dipimpin Jokowi. Namun belum sampai pertanyaan itu disampaikan ke orang tersebut, sudah disambungnya pernyataan tadi. Intinya Jokowi dari penampilan selama ini cenderung lembek, tidak tegas sehingga tidak berani menghadapi koruptor.

Sebenarnya pernyataan itu sudah jelas, bahwa dibanding dengan Prabowo, penampilan Jokowi kalah jauh, kalah gagah dan kalah tegap. Bisa diduga bahwa orang tersebut menganggap Indonesia perlu pemimpin yang kuat, sebagaimana tercermin dalam penampilan fisik dan latar belakang karir sebelumnya.

Untuk lebih meyakinkan lagi, orang itu menambahkan kalau saja dipimpin oleh Jokowi, pasti Indonesia bakal lebih dihina oleh Malaysia. Dan tentu saja itu bakal lain cerita seandainya dipimpin oleh Prabowo yang tahu bagaimana mengendalikan tentara dengan pengalamannya di Kostrad dan Koppasus.

Kejadian munculnya seseorang yang berlaku bak agitator bukan sekali itu saja saya alami. Sebelumnya di warung kopi lain, saya juga menemui seseorang yang kotbah berapi-api. Intinya mengajak warga terutama yang Bugis untuk tidak memilih Jokowi. Pasalnya, sebagai orang Bugis, dia merasa terhina karena Jusuf Kalla hanya ditempatkan sebagai calon wakil presiden. Padahal menurutnya dari antara Capres dan Cawapres, Jusuf Kalla-lah yang paling senior, paling punya pengalaman, pernah menjadi wakil presiden sehingga tidak pantas kalau hanya ditempatkan sebagai calon wakil presiden kembali.

Namun lagi-lagi arahnya kembali terbaca, yaitu Indonesia perlu pemimpin yang kuat. Dan itu ada pada Prabowo. Memilih Jokowi dan JK akan membuat bangsa ini menjadi bangsa lembek, karena Jokowi digambarkan klemak-klemek dan Jusuf Kalla sudah renta.

Seorang teman mengingatkan untuk tidak menanggapi terlalu serius agitasi orang-orang yang beredar di warung atau tempat ngopi itu. Menurutnya ada pola menetap dimana isu yang diangkat sama saja dengan gaya penyampaian yang berbeda. Pemimpin yang kuat diidentikkan dengan pemimpin yang punya latar belakang militer. Dan pernyataan teman itu semalam terafirmasi dalam sebuah talk show di televisi, dimana seorang politisi yang cukup ternama menyatakan yang siap memimpin bangsa ini adalah sipil yang berlatar militer. Karena militer adalah satu-satunya organisasi di Indonesia yang mempunyai pendidikan kepemimpinan yang matang.

Masih menurut sang politisi itu, tidak ada dalam sejarah seorang presiden tumbuh atau memulai karirnya dari walikota, kemudian jadi gubernur dan terus menjadi presiden. Menurutnya Indonesia terlalu kompleks jika dibandingkan dengan Solo atau Jakarta sehingga perlu orang yang lebih besar dan lebih kuat dari sekedar walikota dan juga gubernur.

Menarik sebenarnya menyaksikan argumentasi-argumentasi untuk membendung seseorang Jokowi agar tidak menduduki kursi kepresidenan. Menarik karena ada semacam benang merah dalam serangan-serangan yang ditujukan untuknya, entah itu yang disampaikan oleh politisi hebat sampai oleh orang-orang biasa yang sebelumnya tidak dikenal sebagai raja pandir.

Situasi menjadi lebih menarik karena mereka yang tidak ingin Jokowi menjadi presiden bertemu dengan mereka yang tidak ingin Jakarta dipimpin oleh Ahok. Kedua kelompok ini kemudian bekerja bersama dan mengembangkan isu positif agar Jokowi lebih baik menyelesaikan masa baktinya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Selain untuk menunaikan janjinya juga menjadi kesempatan bagi Jokowi untuk mematangkan diri dalam kepemimpinan sehingga kelak jika mau melangkah ke kursi presiden sudah lebih siap.

Si Pandir memang jago memainkan situasi. Yang disebut politik atau kampanye hitam tidak selalu bernada negatif.Cukup dengan mengatakan bahwa saat ini Jokowi belum siap atau belum tetap untuk memimpin NKRI. Sebab Jokowi masih dibutuhkan oleh Propinsi DKI Jakarta untuk membenahi dirinya. Meninggalkan kursi DKI 1 berarti mengecewakan warga Jakarta yang punya harapan besar padanya. Dan pemimpin yang baik tentu saja pemimpin yang tak akan mengecewakan warganya.

Pondok Wiraguna, 9 Juni 2014

@yustinus_esha

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun