Mohon tunggu...
Yustinus Sapto Hardjanto
Yustinus Sapto Hardjanto Mohon Tunggu... lainnya -

Pekerja akar rumput, gemar menulis dan mendokumentasikan berbagai peristiwa dengan kamera video. Pembelajar di Universitas Gang 11 (UNGGAS)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tentukan Pilihanmu

7 Juni 2014   20:48 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:48 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memilih akan terasa lebih mudah jika tidak menimbulkan konsekwensi atau resiko tertentu. Namun dalam kenyataannya memilih bukanlah sesuatu yang gampang dilakukan terutama karena ada limitasi tertentu yang membatasi keleluasaan untuk menentukan pilihan. Saya karena tipisnya kantong, tidak bisa memilih untuk membeli HP impian, oleh karenanya harus menjatuhkan pilihan pada HP lain yang sesuai tebal tipisnya kantong. Dalam soal beli membeli kebutuhan, kebanyakan kita mesti membawa pulang barang yang bukan merupakan pilihan kita, melainkan barang yang sesuai jangkauan.

Pun demikian dengan penentuan pilihan dalam pemilihan umum. Ada banyak orang bisa menentukan pilihan dengan cepat dan mudah. Misalnya saja mereka memilih pasangan kandidat tertentu hanya karena pertimbangan kesukuan, sama-sama orang Jawa misalnya. Atau memilih dengan dasar pertimbangan sama-sama satu iman, atau karena kandidat adalah teman seangkatan di sekolah, satu daerah kelahiran, satu organisasi dan lain sebagainya.

Saya misalnya ikut bangga kalau ada orang sekampung bisa menjadi presiden. Maka kalau ada orang yang satu kampung dengan saya lalu mencalonkan diri jadi presiden bakal saya pilih tanpa perlu pertimbangan panjang-panjang. Atau sebagai alumni sekolah tertentu, pasti saya juga bangga kalau ada teman satu sekolah yang jadi presiden dan seterusnya.

Namun di luar pertimbangan diatas, menentukan pilihan bisa jadi sulit dan rumit. Para pengajar demokrasi dan pemilu serta politik selalu mengajarkan pemilih untuk menjadi rasional. Memilih bukan atas dasar pertimbangan emosional dan primordialisme. Pemilih mesti menentukan pilihan dengan kesadaran yang dibangun melalui proses yang mendalam.

Konon pemilih yang rasional adalah pemilih yang mengenal kandidat yang hendak dipilihnya. Maka yang pertama dilakukan adalah mengenali kandidat, mengetahui track recordsnya, paham visi misi dan programnya. Kemudian dilakukan perbandingan antar kandidat, plus minus dari masing-masing kandidat. Berdasarkan perbandingan itu maka yang terbaiklah yang akan dipilih.

Cara menentukan pilihan seperti ini tentu saja menuntut pemilih untuk aktif. Mencari informasi dari masing-masing kandidat, mengikuti kegiatan kampanye, debat kandidat dan bertukar pikiran dengan pemilih lainnya. Dan kesemua itu bukan hanya butuh waktu melainkan juga niat serta sarana dan prasarana untuk mengakses segala sesuatu tentang kandidat.

Proses akan menjadi lebih rumit lagi mengingat kandidat maju dalam pemilu presiden karena dicalonkan oleh partai atau gabungan partai. Bisa jadi kandidat adalah orang yang bagus namun partai pendukungnya adalah partai yang dikenal buruk. Keadaan ini tentu saja membuat proses menentukan pilihan menjadi lebih sulit.

Kesulitan atau kerumitan untuk menentukan pilihan ini barangkali merupakan faktor yang kerap membuat pemilih kemudian cari gampang dengan tidak memilih. Dari pada pusing-pusing, maka lebih baik diam saja, tinggal di rumah dan menikmati liburan di hari pencoblosan. Dan sayangnya yang kerap mengambil sikap seperti itu justru kaum terdidik, masyarakat kelas menengah yang sebenarnya punya potensi kolektif untuk mendorongkan perubahan.

Masih ada waktu kurang lebih satu bulan, bagi masyarakat pemilih di Indonesia untuk mengenal para kandidat lebih dalam, mengenali visi, misi dan program yang hendak mereka tawarkan pada masyarakat pemilih. Jadi sebenarnya tak perlu tergesa-gesa untuk menentukan pilihan. Fokuslah pada pengenalan secara mendalam atas diri para kandidat, tidak perlu melebar kemana-mana. Sebab biar bagaimanapun yang akan menjadi presiden jika kandidat menang nanti adalah sosok tertentu, bukan partai pengusung dan organ pendukung lainnya.

Jadi tidak perlu terganggu dengan istilah pegawai partai, suruhan ketua, pemilik atau pendiri partai dan lain sebagainya. Pemimpin apalagi sekelas presiden adalah tingkat kepemimpinan tertinggi di republik ini. Dengan demikian dia akan menjadi pemimpin dari banyak orang dan kelompok dengan keragaman yang tinggi. Untuk bisa memimpin bangsa dengan keragaman yang tinggi kita hanya butuh seseorang yang sungguh menghargai orang lain, mau mendengarkan suara banyak orang, luwes dalam bergaul dan tidak mengambil jarak dengan masyarakat marjinal. Pemimpin yang mampu membangkitkan harapan di tengah banyak keputusasaan hidup warganya.

Pondok Wiraguna, 7 Mei 2014

@yustinus_esha

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun