Mohon tunggu...
Yustinus Sapto Hardjanto
Yustinus Sapto Hardjanto Mohon Tunggu... lainnya -

Pekerja akar rumput, gemar menulis dan mendokumentasikan berbagai peristiwa dengan kamera video. Pembelajar di Universitas Gang 11 (UNGGAS)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pilpres dan Hantu Sok Tahu

11 Juni 2014   20:18 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:12 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di bandingkan dengan pemilu presiden secara langsung pada tahun 2004 dan 2009, dinamika pemilu presiden 2014 terasa berbeda. Kali ini keriuhan di media social begitu terasa. Efek atas apa yang beredar di media social semakin menjadi viral ketika banyak media mainstream mendasarkan pemberitaan pada topik yang ramai dibicarakan di social media. Apa yang disiarkan di media mainstream kemudian masuk dalam perbincangan mulut ke mulut di masyarakat. Perbincangan yang tidak lagi terkontrol karena tak ada lagi yang berperan sebagai editor.

Menelusuri pokok perbincangan yang ada di sudut-sudut ruang pertemuan warga entah itu di pengkolan jalan, perempatan, pos ojek, warung kopi bisa membuat bulu kuduk berdiri. Banyak cerita mengerikan yang dikembangkan untuk kemudian ditimpakan kepada capres tertentu. Mengerikan karena yang diceritakan seolah-olah merupakan fakta kebenaran, namun ketika dikejar sang pencerita, sebut saja hantu sok tahu tak bisa menerangkan sumbernya dengan pasti.

Banyak kisah yang sesungguhnya terang benderang dibuat kabur. Cerita soal latar belakang misalnya jelas dengan mudah ditelusuri. Karena mereka yang terkait dengan cerita itu toh kebanyakan masih hidup. Para capres maupun cawapres yang akan bertarung dalam pilpres 2014 bukanlah sosok renta yang umurnya lebih dari 100 tahun. Teman bermain sejak kecil, teman kelas, teman kuliah yang bisa menceritakan kebiasaan dari A sampai Z masih banyak dan mudah ditemui.

Buat saya, menyukai seseorang dengan alasan subyektif untuk kemudian dipilih jadi calon pilihan di bilik suara itu bukan soal. Yang menjadi soal kemudian seseorang itu membabi buta, gelap mata dalam meruntuhkan kredibilitas calon yang bukan menjadi pilihannya. Dengan cara memamahbiak informasi apa saja yang minor tentang calon yang bukan pilihannya.

Para hantu sok tahu ini menyebarkan cerita bak ular merayap, kapan saja dan dimana melebar kesana kemari. Dalam dunia komunikasi perpindahan informasi dari satu orang ke orang lain selalu berpotensi makin bias dan kabur. Apa yang diyakini sebagai informasi yang kredibel tidak lain dari karangan-karangan yang dikembangkan dengan mengabung-ngabungkan informasi secuil secuil sehingga menjadi bulatan yang seolah utuh.

Informasi ketika memasuki ruang perbincangan publik memang susah dikontrol apalagi kalau sudah dibumbui dengan sentiment primordial, kepentingan jangka pendek, keuntungan sesaat. Serpihan kebenaran disembunyikan dibalik kebenaran yang direkayasa. Berita yang tidak jelas ujungpangkalnya kemudian dianalisa dengan sangat kasar untuk konsumsi tipu tipu sehingga orang lain yang dianggap berseberangan bakal merubah pilihan.

Kenyataan yang mengerikan ini sesungguhnya tidak hanya terjadi di akar rumput. Proses rekayasa warta, bahkan sudah mendekati titik ‘kejahatan berita’. Para pembuat berita sudah mem-frame warta sebelumnya. Pernyataan seseorang bisa menjadi dua berita yang berlawanan. Di media A si narasumber disebut menyokong calon Y, sementara di media B si narasumber diberitakan mendukung calon Z. Dan dari gambar yang tersaji di layar jelas bahwa kejadian yang diberitakan berbeda itu berasal dari tempat yang sama.

Di langit berita memang penuh dengan nada klaim. Untuk menunjukkan besarnya dukungan maka silih berganti di media yang condong pada calon Y atau Z memenuhi ruang beritanya dengan cerita dukungan. Segerombolan orang yang jika diamati dengan sungguh-sungguh berjumlah hanya ratusan diceritakan sebagai berjumlah ribuan. Muncul ratusan kelompok baru entah berbentuk barisan, forum, front, gabungan atau apa saja yang sebelumnya tidak dikenal, namun diberitakan punya circle of influence yang besar.Berderet narasumber anyar silih berganti dimunculkan. Apapun yang keluar dari mulut ditelan mentah tanpa daya kritis penanyanya. Ibarat kata ocehan burung kakatua disambung oleh burung betet.

Barangkali orang bisa berkilah itulah demokrasi dengan segala keterbukaannya. Toh, nanti seiring dengan selesainya pilpres semua itu akan berlalu. Pernah kita mengalami, pada suatu masa ada tokoh yang menolak keras perempuan sebagai presiden, namun kemudian orang yang sama toh bersedia menjadi wakilnya ketika perempuan itu menjadi presiden.

Pertanyaannya apakah kita ingin terus mengulang perilaku yang jelas-jelas tak berintegritas itu. Bukankah sejak kecil kita diajari untuk tidak menjilat ludah sendiri. Kita diajari untuk menyelaraskan antara mulut dan laku. Berita dan cerita yang mungkin saja ditujukan agar pilpres menjadi seru, sebagian besar telah membuat masyarakat awam menjadi khawatir. Kekhawatiran yang bisa saja membuat pening kepala dan maagnya kumat.

Jadi buat hantu-hantu yang sok tahu, berhentilah memproduksi cerita yang tak jelas ujung pangkalnya.

Pondok Wiraguna, 11 Juni 2014

@yustinus_esha

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun