Mohon tunggu...
Yustinus Sapto Hardjanto
Yustinus Sapto Hardjanto Mohon Tunggu... lainnya -

Pekerja akar rumput, gemar menulis dan mendokumentasikan berbagai peristiwa dengan kamera video. Pembelajar di Universitas Gang 11 (UNGGAS)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Aku dan Presiden

11 Juni 2014   18:45 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:13 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa pengaruh langsung dari seorang presiden terhadap kehidupan kita?. Pertanyaan itu bisa jadi gampang, namun sekaligus juga sulit untuk dijawab. Untuk mereka yang bekerja di pemerintahan bisa jadi mudah menjawabnya, misalnya presiden yang ini gaji pegawai kecil sementara presiden yang itu gaji pegawai dinaikkan plus ditambah tunjangan ini dan itu.

Mengatakan bahwa presiden tidak punya pengaruh langsung pada kehidupan kita buat saya adalah perkataan yang gegabah. Sekecil apapun pasti ada pengaruhnya. Kalau saya mengingat-ingat mulai dari jaman kecil dulu, kebijakan atau keputusan yang diambil oleh Presiden Suharto misalnya jelas terasa pengaruhnya.

Soal pendidikan misalnya, Presiden Suharto menekankan yang disebut dengan disiplin, gotong royong dan ketaatan. Upacara dan Pramuka menjadi menu wajib, baris berbaris menjadi penting. Saya ingat waktu SD dulu pada kesempatan tertentu harus berbaris dipinggir jalan, menunggu berjam-jam untuk menunggu tunas kelapa yang dipikul di punggung lewat. Tunas kelapa itu berjalan estafet dari satu kecamatan ke kecamatan yang lain untuk memperingati hari pramuka. Pada malam menjelang hari kemerdekaan, saya juga berdiri di pinggir jalan untuk menghormati obor yang lewat, menuju Taman Makam Pahlawan.

Presiden Suharto yang saat itu dijuluki dengan Bapak Pembangunan juga getol melakukan berbagai program pembangunan. Ambil contoh saja listrik masuk desa, yang membuat saya setelah kelas 3 SD tak lagi belajar dengan lampu teplok. Dalam bidang kesehatan misalnya dibangun Puskesmas, yang membuat saya tak lagi pergi ke dokter Lim kalau sakit, cukup ke Puskesmas dengan kartu kuning kepunyaan bapak atau ibu yang pegawai negeri.

Kelak setelah cukup dewasa saya juga tahu dengan pendapatan yang diperoleh dari minyak dan gas, Presiden Suharto banyak memberikan aneka subsidi sehingga harga kebutuhan pokok, energi dan lain-lain menjadi murah dan terjangkau. Meski kemudian saya juga menjadi tahu bahwa subsidi itu kemudian memberatkan keuangan negara ketika pendapatan dari sektor minyak dan gas menurun dari waktu ke waktu.

Ketika Indonesia dipimpin oleh Presiden Habibie, meski tidak lama, saya merasa memperoleh pelajaran baru tentang demokrasi. Saya kemudian mengenal bukan hanya dalam pelajaran melainkan dalam kenyataan yaitu pelaksanaan referendum di Timor Timur yang kemudian berpisah dengan Indonesia menjadi Timor Leste.

Kemudian pada jaman Presiden Gus Dur, pembelajaran demokrasi semakin menguat. Dinamika demokrasi menjadi terasa lewat kebijakan-kebijakan yang berani menyentuh sektor yang krusial bahkan beberapa terkait dengan luka batin bangsa. Gus Dur yang akhirnya harus berhenti di tengah jalan kemudian digantikan oleh Megawati. Presiden yang memberikan kebanggaan, karena Amerika Serikat yang kerap disebut sebagai kampiun demokrasi belum sekalipun dipimpin oleh presiden perempuan. Di masa Gus Dur dan Megawati, sebagai seseorang yang menekuni jalan non pemerintah, saya merasa aktivitas tidak lagi dimata-matai. Pertemuan-pertemuan tidak lagi dihadiri oleh satu dua orang yang selalu duduk di belakang, tidak diundang, diam-diam dan selalu mencatat.

Pembelajaran demokrasi semakin maju melalui pemilihan presiden secara langsung yang membuat Susilo Bambang Yudoyono menduduki kursi kepresidenan. Dialektika demokrasi menjadi lebih menarik, partisipasi publik dalam formulasi kebijakan juga menjadi lebih terbuka. Keterbukaan dan akses terhadap informasi menjadi semakin nyata.

Membandingkan pengaruh dari satu presiden ke presiden lain terhadap kehidupan saya mungkin berbeda bentuk dan kwalitasnya. Namun semuanya pasti mempunyai pengaruh baik langsung maupun tidak langsung. Di jaman pemerintahan presiden Suharto mungkin pengaruh langsungnya sangat terasa karena saat itu pembangunan memang sangat terasa dampaknya. Paling mudah adalah dari tidak ada listrik menjadi ada listrik, perubahan yang membawa dampak ikutan sangat banyak.

Buat saya pada akhirnya antusiasme untuk menyambut presiden baru tidak harus karena saya akan mendapat dampak langsung. Dampak psikologis munculnya harapan baru bahwa sosok presiden baru akan membawa Indonesia sudah cukup buat saya untuk ikut menentukan siapa yang pantas memimpin Indonesia ke depan.

Melihat situasi dan kondisi Indonesia saat ini, secara pribadi saya menginginkan presiden yang lebih humanis, seseorang yang mampu mendengarkan dan dekat dengan masyarakat. Seorang presiden yang mampu melahirkan kebijakan menyelesaikan segenap persoalan yang ditempuh lewat dialog yang seimbang dan setara.

Pondok Wiraguna, 11 Juni 2014

@yustinus_esha

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun