Sewaktu makan malam, istri saya mulai memperbincangkan tentang harga-harga bumbu dapur dan kebutuhan pokok lainnya yang mulai merangkak naik. Lain waktu dia juga mengatakan nilai tukar rupiah melemah. Urusan valuta asing, memang penting buat istri saya terutama untuk mengoreksi harga jual dari produk-produk yang disediakan oleh perusahaan tempatnya bekerja.
Saya sebenarnya tak terlalu tertarik untuk membahas segala macam kenaikan seperti itu, sebab untuk urusan ekonomi otak saya memang terbatas pengetahuannya. Biasanya saya hanya mendasarkan percakapan pada apa yang saya baca di media tentang kenapa harga-harga meroket tinggi. Selain itu harga biasanya juga naik menjelang hari-hari besar tertentu dimana warga mengkonsumsi segala sesuatu lebih banyak dibanding hari-hari lainnya.
Bulan ini dan bulan depan menjadi saat yang krusial karena ada piala dunia, pemilu presiden sekaligus bulan puasa yang kemudian akan dipungkasi dengan hari raya Idulfitri. Hari-hari besar yang berkumpul di satu masa itu mau tidak mau akan berpengaruh pada pola perekonomian di masyarakat, yang berdampak pada kenaikan harga-harga komoditas tertentu.
Maka untuk tidak panjang-panjang membuat analisa soal kenaikan segala macam harga itu, saya mengatakan bahwa kecenderungan semua harga naik itu adalah efek dari piala dunia, pilpres dan menjelang bulan puasa. Saya tak berani mengatakan kalau bumbu dapur misalnya naik karena pasokan dan permintaan tidak seimbang, mengingat saya tak punya data seberapa besar produksi bawang merah, bawang putih atau cabe di seluruh negeri ini. Saya juga tak punya informasi di daerah mana ada gagal panen entah karena banjir, hama atau bahkan kekeringan.
Tapi saya tahu persis kalau istri saya tidak ingin jawaban dengan segala macam analisa yang ‘ndakik-ndakik’. Dia sesungguhnya hanya ingin mengeluarkan sebuah keluh, betapa kerap kali menjadi sulit untuk mengatur uang belanja karena harga-harga naik tanpa permisi.
Beruntung istri saya tidak terlalu suka menonton televisi dan membaca koran. Sebab jika sering nonton TV dan baca koran pasti bakal pusing lagi, membandingkan kenyataan di pasar dengan warta kampanye para capres yang seolah-olah mampu merubah Indonesia dengan segala retorikanya.
Mudah sekali ditemui di TV, para capres bercengkrama dengan petani, buruh, pedagang pasar dan orang-orang kecil lainnya dengan wajah riang gembira. Sesuatu yang sebenarnya tidak nyata, karena kita tahu betapa susahnya petani kita untuk mempertahankan lahannya dengan pendapatan yang diperolehnya.
Sayangnya para calon presiden selalu saja mengulang jargon ekonomi kerakyatan untuk menjawab kepiluan dan kekhawatiran kebanyakan warga tentang masa depannya. Entah apa yang disebut sebagai ekonomi kerakyatan itu. Sebab selama ini sesungguhnya yang terjadi adalah rakyat berusaha sendiri membangun sistem dan lingkaran ekonominya tanpa campur tangan pemerintah. Salah satunya adalah ‘ekonomi lokalisasi’ yang kemudian tumbuh menjadi bisnis rakyat yang besar.
Sudah sejak jaman merdeka yang disebut sebagai ekonomi kerakyatan disebut-sebut namun wujudnya masih saja seperti hantu. Ekonomi kerakyatan kerap kali tak lebih dari sebuah himbauan agar rakyat hidup sederhana, mengencangkan ikat pinggang. Ekonomi kerakyatan adalah prihatin.
Masa puasa adalah saat bagi kebanyakan rakyat untuk belajar prihatin, mengendalikan nafsu dan keinginan untuk yang enak-enak dengan makan secukupnya sambil mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa. Sayangnya disisi lain masa puasa justru kerap menimbulkan kesemarakan lain, pasar ramadhan justru tumbuh dimana-mana. Segala jenis makanan tersedia, pasar sering kehabisan komoditas, misalnya ikan segar karena telah diborong oleh penjual makanan ramadhan di pagi hari. Alhasil bulan puasa justru membuat kebanyakan warga membeli makanan jadi ketimbang memasak sendiri.
Dan sayapun meski tak berpuasa selalu saja ikut antusias menghadapi bulan puasa karena tak perlu susah-susah memikirkan menu makan malam. Cukup pergi ke pasar ramadhan setelah orang berbuka puasa sehingga saya bisa memperoleh pepes ikan kegemaran saya dengan harga yang lebih murah. Plus segala macam makanan pencuci mulut yang diobral habis ketimbang kemudian jadi basi.