Alhasil muncullah klaim kemenangan dari kedua kubu kandidat. Dua-duanya merasa menang dan mulai merayakan kemenangan itu. Ada yang bersujud syukur, ada yang bersorak sorai sambil pawai. Masyarakat bingung, kita punya tiga presiden, dua presiden hasil hitung cepat dan satu presiden yang belum habis masa jabatannya.
Beruntung presiden yang belum habis masa jabatannya bergerak cepat, pun dengan penyelenggara pemilu yang segera melarang penayangan hitung cepat. Namun warta kadung tersebar luas, dan stasiun televisi tidak kehilangan akal untuk membuat acara baru untuk menegaskan bahwa kandidat yang didukungnya adalah pemenang pilpres 2014.
Dengan demikian tetap saja televisi menjadi alat yang ajaib. Benda yang bisa saja menghibur dan mencerahkan pemirsanya, namun bisa juga menyebar warta yang salah (atau bahkan bohong) yang membuat masyarakat menjadi terbelah. Kecepatan memang menjadi salah satu parameter dalam penyajian informasi saat ini, real time begitu istilahnya. Namun jika kecepatan itu kehilangan akurasi, tipis presisinya maka berpikirlah. Jadi televisi jangan hanya mengajak Indonesia untuk berhitung cepat melainkan juga berpikir dalam, agar tak terperosok dalam jebakan “Pokoke Mesti Menang”.
Pondok Wiraguna, 13 Juli 2014
@yustinus_esha
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H