Mohon tunggu...
Yustinus Prastowo
Yustinus Prastowo Mohon Tunggu... Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) -

Pengamat Perpajakan

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Prof Tjipta, antara Kesumat dan Akal Sehat!

15 April 2016   08:57 Diperbarui: 15 April 2016   10:18 1635
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Membaca tulisan Prof Tjipta Lesmana berjudul “Kematian Prada, Panama Papers, Pengampunan Pajak” di sebuah harian membuat saya terkejut, tercekat, lalu mual. Sebenarnya saya sudah berpikir sepuluh kali, apakah perlu menanggapi itu. Akhirnya saya terpaksa menuliskannya dengan satu ikhtiar: meluruskan kebengkokan. Itu pun dengan asumsi Prof. Tjipta menyadari ada yang bengkok dalam bangunan argumennya. Ya, argumen yang lebih mirip sumpah serapah, dan barangkali memang akhirnya itu benar-benar sampah.

Saya terkejut karena keseluruhan isi tulisannya bukanlah sebuah opini yang memiliki alur yang jelas, argumen yang solid, dan kesimpulan yang benderang. Prof Tjipta tampaknya sudah memiliki prasangka yang amat penuh di balik tempurung kepalanya hingga menggunakan peristiwa kematian Parada sebagai pijakan untuk menumpahkan kebencian. Maka berhamburanlah aneka tudingan, tuduhan, dan serangan yang sayangnya semakin bertubi justru semakin menunjukkan ketidakpahamannya. Ia terseok-seok di antara ketidaktahuan yang akut dan kejumawaan yang angkuh. Perpaduan ini menghasilkan opini janggal, yang barangkali hanya bisa dipahami oleh orang linuwih. Dan sayangnya saya tak memiliki daya itu.

Pemahamannya tentang proses pemeriksaan hukum dan penagihan amat dangkal, sehingga berani menarik kesimpulan bahwa pemeriksaannya tidak benar bahkan penagihan pajak telah dilakukan berkali-kali. Prof Tjipta juga gagal membedakan pengenaan pajak atas laba di tingkat korporasi dan dividen di tingkat pemegang saham- hal yang dianggapnya pajak berganda. Sama seperti ia menuduh pengenaan pajak sektor properti tak adil. Bahkan di bagian lain, tanpa menelisik motif penghindaran pajak lebih mendalam, Prof Tjipta menyimpulkan praktik penghindaran pajak terjadi karena keruwetan sistem pajak Indonesia.

Saya tercekat karena tak ada kata-kata lagi yang bisa keluar dari mulut saya sebagai komentar atas opininya. Hampir tak ada apresiasi yang disisakannya bagi Ditjen Pajak dan aparaturnya. Seolah seluruh kesalahan yang terjadi sudah pasti merupakan cacat Ditjen Pajak dan aparaturnya, dan jika toh ada yang salah bahkan jahat yang dilakukan wajib pajak, itu tak lebih sebagai akibat dari perilaku dan kebijakan Pemerintah yang keliru. Sempurnalah bangunan kebencian yang rapi ditata, sejak dalam pikiran.

Saya lantas menjadi mual, karena tudingan dan serapah yang dibuat jelas sangat bertolak belakang dengan fakta yang ada. Tanpa harus masuk ke kerumitan ilmiah, saya bisa menunjukkan cacat logika dan sesat pikir Prof Tjipta yang sebenarnya manusiawi. Ia sama sekali tak memahami kebijakan pajak, aturan perpajakan, administrasi, dan praktiknya. Tapi dengan amat percaya diri ia menulis laksana orang bersaksi. Saya menduga Prof Tjipta adalah orang yang memiliki watak sosial dan empati tinggi, hingga tiap keluh kesah orang tanpa dikunyah dan dicerna langsung dikeluarkan dalam rupa kotoran yang menjijikkan. Di titik ini saya tiba pada satu sikap, tak mungkin menanggapi satu persatu apa yang diajukan, karena hulu dari semuanya adalah ketidakpahaman.

Prof Tjipta, Anda adalah seorang guru besar yang terkenal dan terhormat. Di balik kehormatan itu tersemat mandat merawat martabat. Tiang penyangga intelektualitas adalah prasangka baik dan pencarian kebenaran yang teguh. Kritisisme itu mutlak dalam dunia ilmiah, tapi jelas apa yang Anda sampaikan bukan kritik, melainkan celaan bahkan fitnah. Tentu saja bukan urusan saya untuk menelisik ada persoalan apa yang membuat Anda sedemikian membenci dan mengumbar kesumat.

Prof Tjipta yang baik, saya sama dengan Anda, orang di luar pemerintahan yang kadang juga kesal dan gemas dalam urusan pajak. Saya pun berusaha memahami dengan jernih apa yang menjadi kerisauan Anda. Tapi saya masih berusaha bersikap adil dan merawat kewarasan saya. Meski kita mungkin tak suka dengan pajak, tapi kita sepakat pajak adalah nadi bangsa ini. Teramat penting kalau sekedar dipergunjingkan apalagi dengan olok-olok. Saya malah mengajak Anda, kita bahu-membahu dengan anak bangsa lain, mengkampanyekan kesadaran membayar pajak agar bangsa ini lekas mandiri. Pula, mari membangun sistem perpajakan yang lebih baik, yang menghormati hak wajib pajak sekaligus memperkuat kelembagaannya, meningkatkan kecakapan para pegawainya. Harus jujur saya katakan, justru saat ini Ditjen Pajak ingin berbenah dengan sunggu-sungguh dan membutuhkan dukungan kita. Mereka butuh masukan dan kritik.

Terlalu sayang dan mubazir jika energi kita dihabiskan untuk bersilang sengketa. Saya masih ingin menghormati komentar dan argumen Anda sebagai kesalahpahaman. Sayangnya, Anda terlampau bersemangat menebar peluru yang tak perlu. Dulu saya amat menaruh hormat kepada Anda sebagai ahli komunikasi. Tapi mohon dimaafkan jika rasa itu kini luntur, bukan lantaran kebencian tetapi karena Anda sendiri mempertontonkan betapa buruknya cara Anda berkomunikasi. Sedemikian sulitkah mengamalkan ilmu? Jika ada satu-satunya hal yang masih harus saya percayai, barangkali pesan guru besar saya beberapa waktu silam, bahwa kebodohan memang tak bisa diperkarakan. Di titik ini saya harus berhenti berkata-kata.
Tabik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun