Mohon tunggu...
Yustika sari
Yustika sari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Tadris Bahasa Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Relasi Kuasa dan Gender dalam Legenda Danau Toba: Kajian Analisis Wacana Kritis

4 Januari 2025   23:32 Diperbarui: 4 Januari 2025   23:32 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Danau Toba (Sumber:Pinterest)

           Di setiap sudut dunia, cerita rakyat tumbuh sebagai warisan yang tidak hanya menghibur tetapi juga membimbing moral masyarakat. Cerita rakyat bukan hanya hiburan, tetapi juga cerminan dari budaya dan keyakinan masyarakat yang terus hidup dari generasi ke generasi. Legenda atau cerita rakyat adalah kisah tradisional yang diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi, yang biasanya menceritakan peristiwa, tokoh, atau tempat tertentu yang dianggap memiliki hubungan dengan sejarah, nilai-nilai budaya, atau kepercayaan masyarakat setempat. Legenda, menurut teori folklore dari William Bascom, berfungsi sebagai cermin budaya yang merefleksikan norma, nilai, dan keyakinan masyarakat tempat legenda itu berasal. Tak jarang orang tua kerap kali menceritakan dongeng maupun legenda  kepada anak-anaknya sebagai penghantar tidur. Selain menjadi cerita penghantar tidur, legenda juga dapat berfungsi untuk menyampaikan nilai-nilai, norma, dan pesan moral kepada masyarakat. Dalam Legenda Danau Toba, misalnya, terdapat pelajaran tentang pentingnya menjaga janji dan konsekuensi dari pelanggarannya.

          Pernahkah kamu membaca atau mendengar legenda Danau Toba? Legenda Danau Toba, salah satu cerita rakyat yang populer di Indonesia, menyimpan lebih dari sekadar kisah magis dan kisah tradisional. Kisah legenda Danau Toba mengisahkan seorang petani yang menangkap ikan yang berubah menjadi gadis cantik bernama Puteri, yang kemudian menjadi istrinya dengan syarat tidak menceritakan asal-usulnya. Mereka hidup bahagia dan memiliki seorang anak laki-laki bernama Putera, yang tumbuh menjadi anak nakal. Suatu hari, petani marah kepada Putera dan tanpa sadar mengucapkan kata-kata pantangan, yang menyebabkan Putera dan Puteri menghilang. Akibatnya, air meluap dan membentuk Danau Toba, dengan Pulau Samosir di tengahnya, mengajarkan tentang konsekuensi dari kata-kata dan pentingnya menjaga janji.

          Cerita rakyat seperti Legenda Danau Toba tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga alat untuk menyampaikan pesan moral dan nilai sosial yang diwariskan dari generasi ke generasi. Dalam legenda ini, dinamika relasi kuasa dan gender menjadi tema yang dominan, menggambarkan struktur sosial dan pandangan masyarakat agraris Sumatera pada masanya. Kajian analisis wacana kritis terhadap legenda ini, menggunakan teknik Van Dijk. Analisis wacana kristis dilakukan dengan mengamati wujud dari tindakan, konteks, histori, kekuasaan, dan ideologi. Analisis wacana kritis seperti yang sudah dijelaskan merupakan sebuah proses pengungkapan uraian wacana yang ditulis ataupun dituturkan oleh seseorang yang di dalamnya terdapat makna bahasa berbentuk teks, pidato, kalimat, gambar dapat dianalisis dengan perspektif kritis (Prihartono dan Suharyo: 2022).

          Menurut Teun A. Van Dijk (Van Dijk: 2004), analisis wacana kritis merupakan sebuah upaya atau proses untuk memberi penjelasan dari sebuah realitas sosial yang sedang dikaji oleh seseorang atau kelompok dominan yang kecenderungannya mempunyai tujuan tertentu untuk memperoleh apa yang diinginkan. Dari hasil analisis legenda Danau Toba dengan menggunakan teori Van Dijk, mengungkap lapisan makna yang kompleks, termasuk representasi gender dan relasi kuasa yang tertanam dalam narasi. Cerita ini tidak hanya relevan secara historis tetapi juga menyajikan refleksi mendalam terhadap norma-norma yang masih memengaruhi masyarakat kontemporer. Legenda Danau Toba tidak hanya menyimpan cerita magis tentang asal-usul danau terbesar di Indonesia, tetapi juga menjadi medium untuk memahami dinamika relasi kuasa dan gender dalam masyarakat tradisional. Kajian analisis wacana kritis, menggunakan teknik Van Dijk, mengungkap lapisan makna dalam legenda ini, mulai dari struktur makro hingga mikro, serta konteks sosial dan budaya yang melingkupinya.

          Melalui struktur makro, legenda ini mengangkat tema utama tentang pelanggaran janji dan konsekuensinya. Tokoh petani, yang menjadi pusat narasi, digambarkan sebagai figur dengan kuasa atas keluarganya. Sebaliknya, karakter istri, yang merupakan jelmaan ikan ajaib, ditempatkan dalam posisi subordinat. Representasi ini memperkuat normalisasi peran tradisional suami sebagai pencari nafkah dan istri sebagai penjaga harmoni keluarga. Namun, pelanggaran janji oleh petani mengubah tatanan ini. Hukuman supernatural dalam bentuk terbentuknya Danau Toba menggambarkan bagaimana alam, sebagai entitas yang lebih besar, memiliki kuasa untuk menyeimbangkan kembali relasi yang rusak.

          Kajian struktur mikro menunjukkan penggunaan stilistik yang memperkuat stereotip gender. Tokoh istri digambarkan sebagai "cantik jelita" dan "penjaga harmoni," sementara anak laki-laki disebut sebagai "nakal" dan "tidak tahu diuntung," mencerminkan peran gender yang khas dalam masyarakat agraris. Kalimat aktif yang digunakan untuk tokoh petani menekankan dominasinya, sementara kalimat pasif pada tokoh istri dan anak menunjukkan posisi mereka yang lebih pasif dalam narasi. Legenda ini memuat pesan moral yang kuat, seperti pentingnya menjaga janji dan konsekuensi dari tindakan impulsif. Simbolisme air yang meluap, membentuk Danau Toba, melambangkan dampak besar dari pelanggaran norma sosial. Selain itu, narasi ini juga mencerminkan nilai budaya masyarakat Batak tentang keseimbangan antara manusia dan alam, serta keyakinan akan kekuatan supernatural sebagai penjaga moralitas.

          Legenda Danau Toba menjadi cermin dari struktur sosial, relasi kuasa, dan norma gender masyarakat tradisional. Melalui pendekatan analisis wacana kritis, kita dapat melihat bagaimana cerita rakyat berfungsi sebagai alat untuk mentransmisikan nilai-nilai moral dan budaya. Lebih jauh, kajian ini mengajak kita untuk merenungkan kembali relasi sosial dan peran gender dalam konteks kekinian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun