SENYUM - Murah tapi memperkaya hati yang menerima
Sepertinya senyum di lingkungan perkeretaapian kita sudah berkurang.Pengalaman salah seorang teman saya, seorang yang sering bekerja sama dengan PT KAI mengeluhkan tentang sambutan yang kurang bersahabat. Seyogyanya tamu atau pelanggan mendapat sambutan yang hangat sehingga kesan yang didapatpun merupakah kesan positif. Banyak perusahaan menginvestasikan jutaan dolar hanya untuk kesan positif pelanggan dan image perusahaannya, hal yang paling murah adalah senyum, salam, sapa.
Berdasar pengamatan awam saya, dari ketiga hal itu, hanya salam dan sapa saja yang ada, namun itu pun dengan wajah garang seolah-olah kita adalah seorang maling. Senyum, yak, itu yang tidak terlihat sekarang di perkeretaapian kita. Saya jadi bertanya-tanya hal yang murah saja sulit sekali untuk dilakukan, apalagi bila membutuhkan investasi besar. Saya harap PT KAI lebih memperhatikan mengenai pelayanan sederhana yang ramah di lingkungan stasiun dan kantornya.
Salam penumpang kereta
Anthony Ladjar - Sekjen Aspeka (Asosiasi Penumpang Kereta)
Ungkapan perasaan Sekjen Aspeka, Anthony Ladjar itu banyak benarnya. Di tengah arus perbaikan manajemen perkeretaapian di sini oleh Dirut KA, Ignatius Jonan, sesekali masih ada celah kekurangannya. Sayang sekali, bila reformasi total perkeretaapian itu masih diwarnai pelayananan yang tidak mengesankan hanya karena sebuah senyuman yang mahal disunggingkan.
Beberapa kali saya memang mengalami hal yang tidak terlalu nyaman dengan sikap dan cara pelayanan dari orang-orang yang menjadi garda depan pelayanan kereta api, mulai dari petugas loket, petugas peron, poluska dan kondektur.
Pernah suatu ketika, demi mendapatkan tiket (saat ini, memperoleh tiket KA di Daop VI agak sulit karena kapasitas penumpang dibatasi sejak kecelakaan pada bulan Oktober 2012 lalu), saya pagi-pagi berjibaku membeli tiket di St Lempuyangan sambil mengantar anak sulung ke sekolah. Setelah mendapat tiket, saya pulang, mengantar si kecil sekolah sekaligus saya berangkat ke stasiun Tugu. Saya sering menyiasati dengan berangkat dari stasiun Tugu agar mendapat tempat duduk dalam kereta, apalagi bila hari Senin. Ketika masuk, petugas peron memeriksa tiket saya dan terkejut karena tertera stasiun pembelian di Lempuyangan. Barangkali, persepsi membeli di Lempuyangan berarti juga naik dari St Lempuyangan. Dengan wajah tidak menyenangkan saya ditegur. Lalu saya jawab bahwa tidak ada peraturan yang mengharuskan saya naik dari St Lempuyangan karena saya beli tiketnya disana. Lalu ada petugas berseragam R6 yang akhirnya mengijinkan saya masuk. Nah, kejadian pelayanan yang kaku seperti ini sering terjadi.
Beberapa teman pelaju dari St Solo Balapan, bahkan sampai hafal dengan salah satu petugas loket karena keketusannya. Kadang dicandain juga oleh teman-teman, "Mbak, pagi-pagi kok udah bete toh...? Lagi marahan sama pacarnya ya....? Candaan ini dilontarkan karena si Embak petugas loket betul-betul miskin senyum dan jarang berterimakasih. Kata teman-teman, wajahnya ketus dan suka setengah melemparkan tiket ke calon penumpang dan tanpa melihat si pembeli sama sekali.
Konon katanya, senyum itu sedekah. Senyum itu memberikan energi positif ke lingkungan. Dalam tulisannya di Kompasiana beberapa waktu yang lalu, Mbak Parastuti pernah menyampaikan tentang makna senyuman bagi orang Jepang. Dalam nuansa sosial masyarakat Jepang, ‘senyum’ itu sebuah keharusan, saat orang sedang bekerja baik dalam bidang pelayanan publik atau pun dalam bidang pelayanan yang ada hubungannya dengan hiburan. Mengapa begitu? Ada aturan yang bersangkutan dengan kata pelayanan, yang mengandung arti ramah dan senyum.
Pernah saya melihat suatu tayangan di BBC, tentang London Underground, dimana otoritas disana bahkan rela dan membayar khusus petugas di dekat peron untuk sekedar menyapa para pelanggan kereta. Sekedar ucapan "Hello..", "How are you, Sir..?", "How is your day going on...?" dan sebagainya. Betapa pelanggan kereta mendapat perhatian dan pelayanan yang sedemikian ramah adalah bagian dari konsepsi marketing dimana suatu usaha rela menginvestasikan dana untuk membeli loyalitas penumpang/pelanggan.
Konon katanya , bangsa kita ini bangsa yang berbudaya luhur? Mestinya pelayanan yang ramah dan senyum itu memiliki tempat dalam definisi budaya yang luhur itu bukan...? Jadi, mari kita menunggu pelayanan yang ramah dan murah senyum dari PT KAI....Syukur-syukur yang ngasih senyuman seperti Yudi Ramdhan, petugas CL yang sedang jadi trending topic saat ini.....:) :)
Salam senyum...:)