Pada Selasa 9 Oktober 2018, Gubernur Daerah Istimewa (DIY) Sri Sultan Hamengkubuwono X resmi membuka Program Restorasi Sosial Gerakan Bangga Penggunaan Aksara Jawa (GERBANGPRAJA) dengan tema "Nggugah rasa Sithik Edhing lumantar Aksara" yang bertempat di Bangsal Kepatihan Kompleks Kantor Pemda DIY.
Acara yang dihadiri ratusan Punggawa Bahasa Jawa (komunitas yang peduli dan merawat bahasa dan budaya Jawa/Javaholic Community) ini berlangsung meriah. Sebelum acara resmi dibuka, bahkan sudah disajikan aneka hiburan kesenian dengan nuansa Jawa.
Generasi kekinian yang kurang "melek" terhadap literasi Jawa menjadi keprihatinan Dinas Sosial Pemda DIY sehingga peluncuran Program Restorasi Sosial ini menjadi signifikan. Oleh sebab predikat Yogyakarta sebagai Kota Pendidikan menjadi terbuka lebar terhadap masuknya beragam budaya dari daerah lain, sehingga wilayah Yogyakarta ini menjadi "melting pot" bagi berbagai komunitas budaya lainnya. Melalui interaksi sosial, sehingga terjadi proses adaptasi terhadap ruang dan waktu yang berlangsung secara terus menerus, sehingga kekhawatiran tergerusnya identitas sosial menyeruak karena budaya Jawa yang belum tertanam secara utuh dan paripurna ke individu-individu warga.
Gerakan literasi yang dicanangkan ini dimulai dengan mempelajari aksara Jawa karena maknanya yang sangat dalam kandungan nilai ajarannya serta filosofi Jawa yang termuat didalam tiap-tiap aksara Jawa.
Dalam gerakan ini, Camat-camat menjadi pelopor/garda terdepan disusul dengan Karang Taruna sebagai generasi muda agen perubahan dan tokoh-tokoh agama yang memiliki peran kunci di masyarakat.
Target awal dari gerakan ini adalah sejumlah 100 orang dari 78 kecamatan di Propinsi DIY yang diintervensi dengan budaya Jawa dimana kemudian personal-personal ini menjadi pelopor dalam gerakan literasi ini, dan akan dilakukan pada kurun waktu bulan Oktober hingga Desember 2018.
Tahap selanjutnya adalah mulai bulan Januari 2019, personil-personil tersebut akan langsung diterjunkan ke masyarakat dalam forum-forum diskusi yang diselingi dengan hiburan-hiburan bernuansa kebudayaan Jawa, untuk menjadi agen "gethok tular" (menularkan) ilmu dari kompertensi yang sudah didapatkan.
Gubernur DIY, Sri Sultan HB X dalam pidato pembukaan, menyampaikan pentingnya bahasa dan aksara. Sesungguhnya bahasa itu lebih dari sekedar sarana untuk komunikasi, tetapi mengantarkan pada nilai-nilai keyakinan dan identitas kita. Melalui bahasa, manusia mentradisikan pengalaman. Tradisi dan pengetahuan, keragaman bahasa mencerminkan kekayaan imajinasi dan cara hidup kita yang mungkin tak pernah terbayangkan sebelumnya.
Demikianlah bahwa restorasi sosial bukan semata-mata menumbuhkembangkan kesadaran generasi muda pada nilai-nilai penghormatan dan penghargaan atas peran para leluhur di masa lampau. Restorasi sosial juga dapat dipertajam lagi pada kemampuan setiap generasi mengenal dirinya sendiri, mengerti dimana mereka berpijak dan dengan cara apa landasan berpikir mereka dibentuk. Generasi muda kita diharapkan dapat menyiapkan dirinya menjadi bagian dari gerak perubahan penuh kesadaran. Mereka dituntut berpikir lebih maju dan terbuka namun sekaligus tidak kehilangan akar sosial mereka sendiri dan sudah tentunya tidak kehilangan karakter lokalitas dan ke-Indonesiaannya. Semangat Hari Aksara Internasional ke 47 beberapa tahun yang lalu semakin menguatkan kita bahwa "Aksara Membangun Perdamaian dan Karakter Bangsa".