Mohon tunggu...
Yusti Masitha
Yusti Masitha Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Senang berpetualang dan mengobservasi sesuatu yang menarik.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sistem Pertanian Tradisional oleh Kelompok Wanita Tani (KWT) RW 04 Kampung Ngijo, Gunungpati, Kota Semarang

29 Maret 2023   08:52 Diperbarui: 29 Maret 2023   08:58 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kampung Ngijo merupakan salah satu kelurahan yang berada di daerah Gunungpati, Kota Semarang. Daerah dengan luas kurang lebih 153.425 Ha ini banyak dimanfaatkan warga sebagai lahan pertanian, pekarangan/bangunan, maupun untuk fasilitas umum. Lahan pertanian yang cukup luas menjadikan sebagian besar masyarakat kampung Ngijo bekerja sebagai petani. Pemanfaatan lahan pertanian di kampung Ngijo tidak hanya digunakan untuk menanam padi saja, tetapi juga tanaman lain seperti buah-buahan, sayur, tamanan obat, tanaman makanan pokok, serta palawija. Selain itu, kampung Ngijo juga dikenal sebagai salah satu daerah yang masih menggunakan sistem pertanian tradisional.

Seperti yang dilakukan oleh Kelompok Wanita Tani (KWT) yang mengembangkan lahan pertaniannya dengan menerapkan sistem pertanian tradisional dalam prosesnya. Hal ini karena melihat keadaan tanah yang tidak rata dan cenderung miring, menyebabkan masyarakat kampung Ngijo lebih memilih menggunakan sistem pertanian tradisional ketimbang sistem pertanian yang modern. Meskipun saat ini sistem pertanian sudah semakin maju dan canggih, hal tersebut tidak membuat masyarakat kampung Ngijo lantas berpindah sistem pada mesin-mesin canggih khas dari perkembangan revolusi industri saat ini. 

“Kami masih menggunakan sistem pertanian tradisional karena menyesuaikan medan pertanian yang ada di sini. Seperti misalnya ketika membajak sawah, kami masih menggunakan alat tradisional cangkul. Atau saat panen padi, proses pemisahan padi dari batangnya kami lakukan dengan alat tradisional yaitu ‘gepyok’. Hal ini bukan berarti kita ketinggalan zaman, tetapi memang disesuaikan dengan kebutuhan kami. Lahan sawah di sini, biasanya adalah milik pribadi dan tidak terlalu luas, ditambah lagi dengan medan yang miring (terasering) sehingga tidak terlalu memerlukan mesin dan kami merasa lebih cocok menggunakan sistem tradisional untuk saat ini.” ujar Bu Dita salah satu anggota KWT Kampung Ngijo.

Kelompok Wanita Tani (KWT) sendiri merupakan sebuah inovasi masyarakat khususnya RW 04 kampung Ngijo yang berdiri sejak tanggal 15 Juni 2022. Para anggotanya merupakan ibu-ibu PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga). Berdirinya KWT adalah sebagai wadah pengembangan potensi pertanian daerah setempat. Setiap anggota diminta mengumpulkan bibit tanaman berupa sayur, buah, maupun obat-obatan. Bibit sayur antara lain seperti : kangkung, cabai, kubis, sawi, kacang-kacangan. Bibit buah juga berupa bahan pokok yang dapat dimasak seperti tomat dan terong. Sedangkan bibit obat-obatan, yaitu betadine, seledri, dan tapak dada. Bibit-bibit yang ditaman juga disesuaikan dengan curah hujan yang ada. Apabila curah hujan sedang turun (tidak ada hujan), maka akan ditanami tanaman palawija yang tidak terlalu banyak memerlukan air dalam proses pertumbuhannya. 

Masa tanam, disesuaikan dengan musim/cuaca yang ada, sehingga dapat berlaku untuk jangka panjang. Sedangkan masa panen, tergantung dengan jenis bibit yang ditanam. Akan tetapi, pada umumnya relatif sama, yaitu 4 bulan. Ketika sudah dipanen, maka hasil tani tersebut dapat dinikmati bersama oleh semua anggota yang tergabung dalam KWT. Selain itu, masyarakat RW 04 juga diwajibkan untuk menanam minimal 1 bibit tanaman di rumah masing-masing. Hal ini merupakan wujud dukungan terhadap program pengembangan potensi pertanian daerah tersebut.

Kearifan lokal yang dimiliki masyarakat RW 04 kampung Ngijo ini juga memiliki banyak manfaat. Karena, selain untuk menjaga kelestarian, kemajuan KWT juga dapat membawa dampak positif bagi daerah setempat. Ibu-ibu yang tadinya hanya sebagai ibu rumah tangga saja, dengan adanya KWT kegiatan sehari-hari dapat menjadi lebih produktif. Hasil-hasil dari bibit yang ditanam juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan pokok ataupun di jual. Kegiatan kerja bakti dalam membersihkan lahan juga dapat melatih diri untuk bisa lebih bertanggung jawab. Serta gotong-royong yang dilakukan ketika masa tanam dan panen mampu mempererat dan meningkatkan kekompakan ibu-ibu Kelompok Wanita Tani (KWT).

Oleh karena itu, dengan penerapan sistem tradisional seperti yang dilakukan oleh masyarakat kampung Ngijo khususnya warga RW 04, patut didukung penuh baik oleh warganya maupun pemerintah. Sebab, hal tersebut juga merupakan suatu bentuk usaha dalam mempertahankan dan mengkonservasi budaya Indonesia, yaitu sistem pertanian tradisional yang kini sudah menjadi warisan budaya. Dengan begitu, budaya baik yang kita miliki dapat dapat tetap lestari hingga generasi mendatang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun