Mohon tunggu...
Yusron Hidayat
Yusron Hidayat Mohon Tunggu... Konsultan - Legal and political consultant

Penulis, Legal and political consutant ,Pegiat Hak Asasi Manusia

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Buah Simalakama UU ITE terhadap Ancaman Kebebasan Berpendapat di Era Digital

14 September 2021   12:01 Diperbarui: 14 September 2021   12:42 598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebebasan menyampaikan berpendapat dan bereskpresi dimuka umum merupakan hak konstitusi yang mana hak ini dilindungi dan di jamin oleh konstitusi. Hal ini merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam demokrasi dan negara hukum, dalam konstitusi Indonesia sejarah jelas tertuang dalam undang-undang dasar 1945 sebagai mana tertuang dalam pasal 28E ayat (3) "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat" dan dalam setiap menyampaikan kebebasan berpendapat tersebut setiap warga negara mendapat jaminan hukum. Kemudian penafsiran pasal 28E UUD 1945 diakomodir oleh undang-undang No 8 Tahun 1998. 

Kebebasan berpendapat (freedom of speech) secara harfiah, menurut kamus Bahasa Indonesia, berasal dari kata bebas (kebebasan) yang berarti suatu keadaan bebas atau kemerdekaan, sedangkan pendapat (berpendapat) yakni ide atau gagasan seseorang tentang sesuatu, sehingga kebebasan berpendapat merupakan suatu kemerdekaan bagi seseorang untuk mengeluarkan ide atau gagasan tentang sesuatu. Dalam  arti kata kebebasan berpendapat ini merupakan hak yang melekat dalam diri setiap individu sejak lahir, begitupun dengan demokrasi salah satu pilar penting dalam negara demokrasi merupakan tercapainya atau terakomodirnya aspirasi masyarakat.

Seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin meningkat proses menyampaikan pendapat pun mengalami perubahan, masyarakat tidak saja menyampaikan pendapatnya dalam mimbar-mimbar bebas seperti demo di depan gedung-gedung pemerintahan tetapi juga merambah kedalam media sosial, hal ini dinilai cukup ampuh bagi masyarakat dalam menyampaikan pendapatnya tanpa harus berlelah-lelah atau berpanasan di jalan dalam menyampaikan pendapatnya. Namun kemudahan tersebut tidak serta merta membuat masyarakat melakukan kebebasan berpendapat tanpa adanya batasan-batasan dalam menyampaikan di ruang public. Ini sebgai bentuk tanggung jawab sehingga dalam menyampaikan pendapatnya tidak serta merta menghilangkan hak masyarakat lainnya.

Lahirnya Undang-undang No 11 Tahun 2008 yang kemudian mengalami perubahan menjadi Undang-undang No 19 tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, pada awalnya undang-undang ini bertujuan melindungi hak individu atau data publik serta jaminan hukum dalam menyampaikan pendapat dan memperoleh informasi melalui teknologi informasi yang cukup berkembang. Namun hadirnya undang-undang ini justru menjadi sorotan dan kontroversi terlebih terdapat beberapa pasal yang mengatur tentang penghinaan atau pencemaran nama baik yakni pasal 27 Ayat 3 pasal inipun dianggap sebagai pasal karet disatu sisi menjaga kondusifitas agar dalam menyampaikan pendapatnya tidak menghilangkan hak individu lainnya semisal menghina atau menimbulkan ujaran kebencian dalam media elektronik dan lebih mengedepankan etika dan tanggung jawab dalam menyampaikan aspirasi di media elektronik seperti media sosisal. Namun pasal ini pula menjadi multitafsir serta dianggap membungkam  hak kebebasan sebab akan digunakan untuk membungkam lawan atau masyarakat dalam menyampaikan aspirasinya di media social.

Dalam sejarahnya memang pasal ini menjerat banyak korban terjerat hukum hanya karena dianggap mencemarkan nama baik atau ujaran kebencian. Sebut saja pada tahun 2009 kita diramaikan dengan kasus prita mulyasari yang dianggap menghina atau mencemarkan nama baik RS Omni Initernasional hanya dikarenakan dia menceritakan beberapa keluhan terhadap pelayanan yang buruk yang dilakukan oleh RS tersebut, dalam hal ini seharusnya pihak RS membenahi pelayanan di RS nya, yang kedua berarti terdapat kemungkinan bahwa kanal  kritik dan masukan untuk perbaikan RS tersebut tertutup.

Yang terbaru adalah kasus yang menjerat I Gede Ari Astina alias Jerink SID terhadap unggahannya yang mengkritik mekanisme pelayanan Rumah sakit-rumah sakit di Indonesia yang mewajibkan Rapid test/ swab test terlebih dahulu sehigga dalam praktiknya beberapa masyarakat tidak dilayani oleh rumah sakit hanya karena tidak sanggup membayar tes cepat  atau swab test bahkan menurutnya terdapat ibu yang harus kehilangan anaknya karena gagal melahirkan karena tidak melakukan rapid atau swab test. Terhadap kritiknya ini jerink SID dilaporkan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) terhadap postingan Jerink SID di media sosial Intagram yang menyebutkan IDI sebagai kacung WHO yang dianggap menghina IDI sebagai institusi dokter di Indonesia.

Pelaporan yang berlandaskan pada asas penghinaan dan pencemaran nama baik atau ujaran kebencian berdasarkan Pasal 27 Ayat 3 ini bukanlah sedikit beberapa diputus bersalah dan beberapa nya dinyatakan bebas. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 dan Nomor 2/PUU-VII/2009, tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik dalam bidang Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik bukan semata-mata sebagai tindak pidana umum, melainkan sebagai delik aduan. Hal ini tentu selaras dengan asas kepastian hukum.

Instrument hukum yang mengatur pembatasan atas penggunaan kebebasan berpendapat memuat pula adanya sanksi yang diancamkan apabila terjadi pelanggaran terhadap pembatasan yang ditetapkan undang-undang, sebagai bentuk norma hukum sekundernya. yang diancamkan tersebut terutama yang berkaitan dengan penyebarluasan ujaran kebencian dan penyebaran berita bohong (hoax). 

Ketentuan mengenai pembatasan kebebasan berpendapat tersebut selanjutnya juga ditanggapi oleh kepolisian selaku institusi penegak hukum dengan adanya Surat Edaran Kapolri tentang Ujaran Kebencian (SE Hate Speech). Surat edaran tersebut merupakan aturan internal pada lembaga kepolisian yang memberikan pedoman bagi seluruh anggota kepolisian dalam menangani kasus-kasus ujaran kebencian terutama yang berpotensi memecah belah NKRI. Euphoria adanya kebebasan mengemukakan pendapat ternyata tida dibarengi oleh pemahaman tentang tanggung jawab oleh masyarakat. Bahkan tidak sedikit lembaga public sendiri memiliki tingkat kebaperan dengan melaporkan pihak terkait hanya karena mengkritik lembaganya hal ini dilakukan demi menjaga nama baik lembaga publik tersebut. Namun sayang sikap kurang dewassa ini menjadi tertutupnya ruang-ruang publik masyarakat ketakutan dalam menyampaikan kritk.

Terlepas dari banyaknya kasus pelaporan menggunakan undang-undang ITE ini dalam ruang-ruang kritik di media publik seperti meia sosial seharusnya undnag-undang inipun memberikan perlindungan dan jaminan terhadap kebebasan berpendapat diruang publik para penegak tidak boleh serta merta menjadikan undang-undang ini menjadi tameng atass kebaperan pejabat publik yang enggan menerima kritik sangat berbahaya apabila setiap kritik selalu diancam dengan delik ini, undang-undang ini berfungsi sebagai perlindungan terhadap aktivitas diruang elektronik namun tidak bisa dipungkiri kedepan menjadi ancaman bagi kebebasan berpendapat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun