Kejanggalan MUNAS
Rekayasa Pemaksaan AHWA
Oleh: Ahmad Masyhadi
Beberapa waktu lalu, tepatnya 14 Juni 2015, telaH dilaksanakan sebuah forum yang disebut sebagai Munas Alim Ulama. Data dan fakta dibawah ini diangkat dari realitas pelaksanaan Munas Nahdlatul Ulama tersebut yang syarat kejanggalan. Semua yang terungkap ini bisa dikonfirmasi langsung kepada penyelenggara, pelaku, saksi dan pengamat.
Munas tersebut dikatakan telah berhasil menyepakati sistem ahlul halli wal ‘aqdi khusus untuk pemilihan Rais Am. Ahlul halli wal ‘aqdi inilah yang oleh penggagasnya sering disebut dengan AHWA, yang berakar kata sama dengan hawa dan dapat diartikan hawa nafsu.
Terdapat 17 fakta kejanggalan yang perlu diungkapan. Pertama, waktu pelaksanaan Munas dipaksakan. Padahal pelaksanaan Muktamar sudah dekat yaitu tanggal 1-5 Agustus 2015. Munas biasanya diagendakan dalam waktu yang proporsional dan tidak mepet dengan Muktamar.
Kedua, pelaksanaan Munas yang pincang karena dilaksanakan tanpa Konferensi Besar (Konbes). Menurut ART NU, Munas Alim Ulama selalu dibarengi dengan Konbes. Munas dengan peserta pengurus Suriyah di tingkat wilayah (PWNU) sementara Konbes untuk Tanfidliyah.
Ketiga, alasan penyelenggaraan Munas mengada-ada karena sebelumnya telah dilaksanakan Munas dan Konbes pada 1-2 November 2014. Dalam AD/ART NU BAB XX pasal 74 ayat 2 disebutkan Musyawarah Nasional Alim Ulama membicarakan masalah-masalah keagamaan (masail diniyyah)yang menyangkut kehidupan umat dan bangsa. Jadi menyalahi AD/ART kalau Munas dijadikan forum untuk mengegolkan AHWA. Sementara Munas maupun Konbes adalah forum di bawah Muktamar. Jadi Muktamar sebagai forum tertinggi yang bisa memutuskan.
Keempat, jadwal dan round down acara Munas dirancang hanya 2 jam, antara 19.30-22.30 WIB. Cukup kilat untuk sebuah acara permusyawaratan yang katanya tingkat nasional. Kalau Munas serius, tentu waktu singkat tersebut tidak cukup, kecuali bila memang hanya untuk agenda tertentu. Untuk Konferensi Anak Cabang tingkat kecamatan saja, barangkali waktunya lebih panjang dari itu.
Kelima, Munas yang katanya merupakan forum penting dengan peserta pengurus Suriyah dan dikatakan sebagai forum tertinggi kedua setelah Muktamar, tidak digawangi oleh tokoh-tokoh penting dari jajaran Suriyah, yakni tanpa kehadiran Penjabat Rois Aam, Katib Aam dan hanya sedikit dari jajaran Suriyah PBNU yang hadir. Jangankan memimpin sidang Munas dan ikut memberikan masukan, hadir saja tidak! Apaalasan tidak datang. Karena udzur ataukah sengaja tidak datang?
Keenam, Munas yang merupakan forum Suriyah justeru di-pawangi oleh jajaran tanfidziyah yang mendominasi forum, seperti Ketua Umum PBNU, Sekretaris Jendral, Bendahara Umum, dan ketua-ketua lajnah/lembaga. Loh, ini acaranya Suriyah apa Tanfidliyah?
Ketujuh, Munas justeru tidak banyak dihadiri oleh Rois Suriyah PWNU. Barangkali ini sepadan dengan Pejabat Rois Am yang juga tidak hadir, mulai pembukaan di Masjid Istiqlal sampai selesai acaranya. Kalau memang ini forum permusyawaratan Suriyah, seharusnya para Rois Suriyah PWNU yang langsung hadir. Alasan sebagian besar Rois Suriyah PWNU tak hadir, karena sudah ada kesadaran bahwa Munas tersebut bermasalah dan rekayasa untuk kepentingan tertentu.
Kedelapan, ada mobilisasi kiai di tingkat PCNU agar ikut Munas. Padahal menurut AD/ART peserta Munas dan Konbes adalah PWNU. Ketika kiai itu ditanya siapa yang memobiliasi kiai PCNU, ia menjawab Ansor. Ini Munas NU atau Ansor? Kok bisa Ansor ikut-ikutan mau mengendalikan NU.
Kesembilan, klaim yang menyebutkan Munas dihadiri 27 PWNU layak dipertanyakan kebenarannya, mengingat banyaknya PWNU yang tidak hadir. Bisa dibuktikan juga dari absensi Munas kalau memang ada. Entah lagi kalau absennya abal-abal.
Kesepuluh, peserta Munas dari PWNU tidak banyak diberi kesempatan bicara. Bahkan ada modus peserta yang berbeda pendapat langsung dipotong oleh pimpinan sidang dan peserta Munas lain yang sudah disiapkan untuk memerankan hal itu.
Kesebelas, tempat duduk peserta Munas juga sudah di set up sedemikian rupa, termasuk dengan pola peserta yang diduga akan menolak AHWA dikelilingi oleh oknum PBNU atau orang-orangnya. Itulah mengapa pembahasan AHWA dalam Munas diklaim berlangsung cepat dan seolah-olah disepakati, karena ternyata ada rekayasa dan pembungkaman terhadap peserta sedemikian rupa. Sampai sedemikiankah? Silahkan ditanyakan kepada peserta dan saksi Munas.
Kedua belas, Munas yang oleh oknum PBNU digembar-gemborkan untuk mematangkan materi muktamar, ternyata didesaign hanya untuk membahas memaksakan sistem AHWA untuk pemilihan Rois Am. Padahal, kalau benar untuk mematangkan materi Muktamar maka perlu dibahas materi muktamar lain yang lebih penting. Mengapa yang dianggap penting dan difokuskan adalah sistem AHWA untuk pemilihan Rois Am? Apa yang dianggap penting dalam Muktamar hanya soal pemilihan Rois Am? Patut diduga ini untuk memenuhi ambisi segelintir elit dengan mengatasnamakan AHWA. Mungkinkah segelintir elit penguasa PBNU di Suriyah dan tanfizdiyyah yang akan maju kembali? Bisa juga demikian.
Ketigabelas, Munas yang disebutkan untuk mematangkan materi ternyata juga tidak dihadiri oleh Ketua Sterring Committee (SC) Muktamar yang notabene adalah penanggung jawab urusan materi. Sekretaris SC yang awalnya diberi mandat untuk memimpin sidang juga tidak hadir. Yang hadir dan nungguin malah Ketua Organizing Committee, yang notabene merupakan pelaksana teknis Muktamar? Kok kebolik-balik ya?
Keempat belas, pada draft keputusan Munas (ingat dalam AD/ART Munas tak punya kewenangan memutuskan) yang dibagikan ke peserta terdapat sejumlah kejanggalan antara lain pada klausul memperhatikan terdapat poin Konferensi Besar 2014 dan Konferensi Besar 2015 sebagai dasar. Bagaimana janggalnya? Pertama draft tersebut berjudul Keputusan Munas Alim Ulama NU tentang Pemilihan Kepemimpinan Suriyah, kok yang dijadikan dasar adalah Konbes yang notabene forum Tanfidliyah. Kedua, dua konbes yang disebutkan itu tidak pernah menyepakati dan memutuskan sistem AHWA, tapi diklaim telah terjadi keputusan di dalamnya. Ini bisa dicek ke peserta kedua Konbes dimaksud.
Kelimabelas, kesalahan lain dalam draft itu adalah soal kolom tanda tangan. Di bagian akhir draft tercantum kolom tanda tangan atas nama Rois Aam, Katib Aam, Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal. Padahal sebagaimana lazimnya Munas, produk yang dihasilkan ditandatangani pimpinan sidang. Inilah salah saktu bukti nyata rekayasa.
Keenambelas, faktanya banyak peserta Munas yang sebenarnya menolak AHWA.Bahkan salah satu peserta Munas KH.Ghozali Masruri (Ketua Lajnah Falakiyah PBNU) yang merupakan saksi hidup pelaksanaan sistem AHWA di Muktamar NU Situbondo pun merasa aneh dan janggal mengapa dipaksakan pengesahan sistem AHWA.
Ketujuhbelas, tidak berselang lama pasca Munas kilat itu, langsung diedarkan pemberitaan dan sebuah broadcast yang menyatakan bahwa Munas secara bulat menyepakati sistem AHWA. Ini jelas kejanggalan sekaligus pembohongan publik karena faktanya dalam MUNAS tersebut banyak penolakan oleh sebagian peserta.Jadi kesepakatan bulatnya itu dari mana?
Itulah fakta-fakta seputar Munas yang mungkin terlalu mengejutkan buat kita dan barangkali ada yang tidak percaya. Tapi itulah kenyataannya. Insyaallah, semua yang ditulis ini bukanlah sesuatu yang mengada-ada. Karena saksi dan pelakunya pun masih ada dan bisa ditanyai. Meskipun, belum tentu semua mengakui ataupun secara terbuka bisa menceritakan.
Tidak heran bila kemudian seorang kiai sepuh PBNU yang ikut sebagai peserta Munas sampai mengatakan.“Ini Munas conditioning (terjadi pengkondisian). Saya tidak ikut bertanggung jawab kepada Allah..”Kiai sepuh ini (mohon maaf), meskipun tidak dikarunia penglihatan lahir yang sempurna, namun lebih jeli melihat persoalan AHWA karena mampu melihat dengan mata batinnnya.
Pengungkapan ini tidak lain hanya untuk penyampaian kebenaran untuk dijadikan pelajaran serta kewaspadaan. Janganlah karena sebuah kepentingan yang didasari oleh hawa nafsu, jam’iyyah ini menjadi dikorbankan.
Kalau memang tujuannya untuk membenahi organisasi warisan ulama ini, maka harus dilakukan dengan cara-cara ulama, akhlaq nahdliyyah yang benar serta perilaku organisasi yang lurus. Tujuan yang baik harus ditempuh dengan cara-cara yang mulia.
AHWA hanya diatasnamakan seolah-olah untuk menjaga muruah (kemuliaan) organisasi. Tapi faktanya hanya dijadikan modus. Jangan sampai AHWA kemudian diartikan sebagai ahlul hillati wal ‘akali, yang kurang lebih memiliki arti kumpulan orang yang ahli berkilah dan ahli mengakali.
Siapapun bisa menilai bahwa sistem AHWA yang akan diterapkan di muktamar ke 33 di jombang mendatang adalah sarat dengan rekayasa. Rekayasa untuk me-golkan jagonya dalam muktamar nanti agar keluar sebagai pemenang. Bagaimana tidak, anggota AHWA saat ini sudah disiapkan oleh Tim sukses pengusung AHWA jauh jauh hari.
Namun sayangnya dalam sejarah AHWA, di mana ada usulan AHWA di situ ada penolakan. Sejarah AHWA awalnya dari PWNU Jawa Timur saat akan Konferwil namun mayoritas PCNU se- Jatim menolaknya. PWNU Jatim Tetap mewacanakan sistem pemilihan melalui AHWA untuk muktamar ke 33. Ide ini lalu di bawa di forum Munas DAN Konbes NU 2014. Total 33 PWNU se-Indonesia hadir dalam Munas dan Kombes mayoritas menolak sistem ahwa. Penolakan AHWA juga ditegaskan kembali dalam pertemuan 25 PWNU pada tanggal 29 Maret 2015.
Dalam Musykerwil PWNU Jatim pada tanggal 13 Juni terjadi penolakan pemberlakuan AHWA untuk Muktamar KE 33. Dari jumlah total 44 PCNU Se Jawa Timur semuanya menolak hanya satu yang menerima sistem AHWA. PWNU Jawa Timur yang notabene sebagai pihak yang punya gagasan awal untuk mengusung AHWA namun dikandang sendiri terjadi penolakan yang luar biasa. Yang terahir Penolakan AHWA terjadi pada Munas di PBNU pada tanggal 14 Juni. Dari kesaksian para kiai sidang dalam munas penuh dengan rekasaya. Pihak pihak yang tidak seide dengan pimpinan sidang tidak diberi kesempatan untuk bicara. Serta penolakan secara tersurat dan berstempel resmi dari mayoritas PWNU se Indonesia tidak dihiraukan. Dan yang parah lagi adalah pemberitaan di media massa bahwa Munas menyepakati sistem ahwa dan secara otomatis dilakukan di muktamar.
Perlu diketahui bahwa Munas tidak bisa membatalkan AD/ART. Mau merubah AD/ART ya melalui Muktamirin bukanya melalui pemaksaan dan pemutarbalikkan fakta. Dalam AD/ART NU pasal 41 poin a disebutkan, rais am dipilih secara langsung oleh muktamirin melalui munyawarah mufakat atau pemungutan suara dalam muktamar, setelah yang bersangkutan menyampaikan kesediaanya.
Rupanya sifat tawadhu’, sabar dan sopan santunya para kiai sepuh dimanfaatkan oleh segelintir orang PBNU. Karena mereka menganggap para kiai sepuh tidak akan melawan makar dan siasat mereka yang licik itu. Meraka menganggap kiai sepuh tidak akan berbuat macam- macam.
Mohon maaf kalau hal ini perlu disampaikan, semata-mata bukan untuk mengumbar keburukan, namun sebagai bentuk otokritik tawashow bilhakki (memberikan nasehat kebenaran).Toh pernah diperintahkan quilil haq walau kaana murron (katakanlah kebenaran, meskipun itu pahit).
Wallahu a’lam bishshowaab…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H