Isu multikulturalisme muncul sebagai alternatif untuk menjadi perekat bagi kesatuan bangsa. Kalau di masa lalu, kekuatan pengikat keanekaragaman adalah politik sentralisasi yang dibalut oleh pemerintahan yang otoriter. Maka, saat ini isu multikulturalisme dipandang bisa menjadi alternatif bagi alat pemersatu. Isu multikulturalisme menekankan pentingnya toleransi, saling menghargai, menjaga kerukunan, menghormati perbedaan, dan sebagainya.
Dalam membahas multikulturalisme sering kali disangkutpautkan dengan pluralisme. Pluralisme merupakan pemahaman atau cara pandang keanekaragaman yang menekankan entitas perbedaan setiap masyarakat satu sama lain dan kurang memperhatikan interaksinya.
Multikulturalisme adalah pemahaman dan cara pandang yang menekankan interaksi dengan memperhatikan keberadaan setiap kebudayaan sebagai entitas yang memiliki hak-hak yang setara. Pluralisme lebih menekankan pada keanekaragaman suku bangsa dan kebudayaannya, sehingga setiap kebudayaan dipandang sebagai entitas yang distinktif, sedangkan multikulturalisme menekankan pada relasi antar-kebudayaan dengan pengertian bahwa keberadaan suatu kebudayaan harus mempertimbangkan keberadaan budaya lainnya, sehingga lahirlah gagasan kesetaraan, toleransi, saling menghargai, dan sebagainya.
Multikulturalisme adalah suatu ideologi jalan keluar dari persoalan mundurnya kekuatan integrasi dan kesadaran nasionalisme suatu bangsa sebagai akibat dari perubahan-perubahan di tingkat global. Sebagai suatu ideologi, multikulturalisme memiliki tiga model penafsiran yang berbeda. Pertama, model yang mengedepankan nasionalitas; Kedua, model nasionalis-etnik; Ketiga, model multicultural-etnik. Namun, tampaknya akan sulit menentukan model yang tepat untuk Indonesia. Penentuan model ini harus mempertimbangkan kondisi-kondisi objektif Indonesia, seperti geografi kepulauan yang luas, keanekaragaman etnik dan agama, dan pertimbangan lainnya.
Hingga kini Indonesia masih berupaya menemukan arus model yang sesuai. Salah satu wacana penting mengenai multikulturalisme adalah pendidikan multicultural. Namun, hal tersebut masih mendapatkan kritikan, yaitu pendidikan multicultural ini justru berpeluang untuk memecah belah dan melahirkan paham etnosentrisme. Nampaknya, belum ada cara lain selain melalui jalan pendidikan multicultural. Proses ini tentunya akan berhasil jika dilaksanakan secara berkesinambungan dan konsisten.
Sumber: ETNOVISI - Jurnal Antropologi Sosial Vol. II No. 1 April 2006
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H