Surat dari Praha.
Sudah lama saya tak menyaksikan film Indonesia yang mampu menggabungkan elemen musik dan alur cerita menjadi satu-kesatuan yang apik. Terakhir kali saya menikmati film semacam itu adalah pada Petualangan Sherina. Mungkin ada film di masa sesudahnya yang menggunakan metode semacam itu, tapi tak ada yang benar-benar meninggalkan kesan ke saya saat keluar dari studio bioskop. Dan Surat dari Praha, bisa saya bilang sangat berhasil menyajikan "relasi film dan musik" dengan sangat manis, meninggalkan kesan kuat di hati penontonnya.
Kemala Dahayu Larasati/Laras (Julie Estelle), seorang wanita karier mandiri dan berhati keras memperoleh wasiat dari ibunya, Lastri (Widyawati) yang meninggal karena sakit. Sebelumnya Laras ingin mengambil warisan dari ibunya untuk biaya perceraiannya (diceritakan Laras memiliki permasalahan dengan rumah tangganya). Warisan baru bisa dia peroleh jika dia berhasil menyelesaikan wasiat terakhir ibunya, yaitu mengantarkan sebuah kotak dan surat dari ibunya kepada seorang lelaki bernama Jaya (Tio Pakusadewo) yang tinggal di kota Praha, Cekoslovakia.
Laras yang juga memiliki hubungan tak harmonis dengan ibunya, akhirnya dengan berat hari berangkat ke Praha. Tak disangka, wasiat dari Sang Ibu tak semudah itu dia selesaikan. Pak Jaya rupanya tak mau menerima kotak dan surat tersebut. Singkat cerita, karena sebuah masalah tak terduga yang menimpa Laras, Laras harus tinggal beberapa lama di rumah Pak Jaya di Praha. Selama beberapa hari itulah, persoalan-persoalan muncul di antara mereka berdua dan membuka satu per satu jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang melingkupi kehidupan Laras dan masa lalu Pak Jaya.
Tak seperti film-film Indonesia berlatar luar negeri kebanyakan yang sedang nge-tren akhir-akhir ini, yang hanya mengekspose keindahan negeri-negeri di luar Indonesia tanpa diimbangi cerita yang berbobot.
Surat dari Praha tak terjebak dalam permainan "eksplorasi luar negeri" tersebut, Angga D. Sasongko (Cahaya dari Timur, Filosofi Kopi) berhasil menunjukkan kematangannya sebagai sutradara. Alur cerita, musik, dialog, dan karakter dalam Surat dari Praha, buat saya, meski tanpa mengambil latar Praha pun tetap akan menjadi film yang brilian. Kehadiran Praha seolah "hanya" menjadi elemen penguat di sisi sinematografi dan latar belakang cerita.
Film ini, bagaikan sebuah kado yang manis untuk Glenn Fredly. Menyimak interview saat film ini menjelang tayang di bioskop, Glenn Fredly selaku produser mengutarakan bahwa film ini adalah retrospektif tonggak pencapaiannya selama 20 tahun berkarya di dunia musik.
Kerja sama Glenn dan Angga D. Sasongko di film ini memang melibatkan lagu-lagu karya Glenn sebagai unsur utama dalam membalut alur cerita Surat dari Praha. Kerja sama itu berhasil diracik dengan jenius oleh Angga, lagu dari Glenn bertajuk "Sabda Rindu" dan "Nyali Terakhir" menjadi senjata utama untuk mengaduk emosi penonton. Dan benar, senjata itu tepat menembak sasaran ke saya.
Dari awal, Surat dari Praha sudah ditasbihkan sebagai film drama romansa. Meski ada unsur sosial politik di dalamnya, Angga D. Sasongko tak terjebak untuk membawa unsur tersebut masuk terlalu dalam ke alur cerita. Begitu juga latar indah Kota Praha, Angga berhasil menempatkan semua elemen tersebut sesuai dengan porsinya tanpa harus menjebak penonton ke jaring-jaring kerumitan yang tak perlu.