Mohon tunggu...
Yusri Ramadhan
Yusri Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Padjadjaran

Berbagi pada dunia, Dunia untuk berbagi.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Cerpen Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan: Sihir pada Cerpen atau Cerpen yang Memancarkan Sihir?

24 Juni 2022   22:55 Diperbarui: 24 Juni 2022   22:56 3234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah gempuran arus globalisasi dan era society 5.0, nampaknya sihir masih merambah pada setiap segmen kehidupan kita, khususnya negara Indonesia. Jika ditelusuri lebih lanjut, sihir ini seolah-olah menempati ruangnya sendiri, tak terkecuali pula pada ranah sastra. Oleh karena itu, penulis akan mencoba membahas "sihir" ini pada sebuah karya sastra berbentuk cerpen yang berjudul Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan karya Kuntowijoyo.

Cerpen karya Kuntowijoyo ini secara keseluruhan mengangkat isu realitas kehidupan seputar praktek perdukunan. Digambarkan tokoh utama merupakan seorang laki-laki yang menjalani ujian untuk mendapatkan kekayaan secara instan. Ia tidak segan untuk menjalani pertapaan selama tujuh hari tujuh malam dan menjalani ujian terakhirnya dengan membawa telinga orang yang meninggal pada hari Anggara Kasih. Sayangnya, ujian terakhirnya tersebut nihil, dan pada titik inilah "sihir" yang dimaksudkan penulis bekerja.

Kuntowijoyo kerapkali mengangkat isu yang bersifat realitas dan mengemasnya menjadi sesuatu yang unik. Cerpen ini memang menggambarkan isu masyarakat yang masih percaya oleh hal-hal gaib serta terampil dalam merapalkan mantra. Hal ini didasari pula pada lingkungan tempat tinggal Kuntowijoyo di tanah Jawa. Mantra pada cerita ini berorientasi pada sihir yang terdapat pada cerpen. Kekuatan sihir di sini digambarkan pada tokoh utama yang menaburkan beras kuning di tempat penjuru angin untuk melumpuhkan para penjaga makam serta digambarkan pada saat tokoh utama membacakan mantra untuk mengusir anjing-anjing kuburan. Lalu, berbicara mengenai unsur kebudayaan, beberapa percakapan setiap tokohnya pun memang menggunakan bahasa Jawa. Selain itu, ada juga sedikit unsur kebudayaan Hindu yang bercampur dengan kebudayaan masyarakat Jawa mengenai kisah Rama, kerajaan Alengka, dan mantra pelumpuh.

Selanjutnya, meskipun tokoh utama dalam cerpen digambarkan sebagai orang yang tidak baik pada pandangan masyarakat Indonesia karena perilakunya yang menyimpang dari agama, Kuntowijoyo memaksa kita para pembaca untuk tidak beranggapan demikian. "Yang benar belum tentu benar, dan yang salah belum tentu salah." Kiranya demikian Kuntowijoyo membangun tokoh utama dalam cerpen agar pembaca tetap dapat mengambil amanat yang disampaikan. Sang tokoh utama melakukan hal yang "menyimpang" tersebut lantaran dipaksa keadaan. Keluarganya melarat, tanggungan di sana sini, serta taraf kehidupannya yang tidak seberuntung keluarga lain. Menurut penulis, "keburukan" ini harus dimaknai secara mendalam sesuai konteks. Karena jika ia tidak melakukan perbuatan tersebut; yang ada keluarganya tambah miskin; serta tidak ragu untuk melakukan perbuatan menyimpang seperti mencuri, menjambret, dan tindak tercela lainnya. Biarlah, Si tokoh utama seorang yang berbuat buruk, daripada jika ia tidak berbuat buruk, seluruh keluarganya yang akan berbuat buruk. Tentunya, membiarkan orang lain melakukan keburukan juga adalah suatu tindakan yang buruk.

Terakhir, bukan sebuah hal yang aneh ketika kita membicarakan tentang Kuntowijoyo dan korelasinya dengan sisi absurd pada karya yang beliau tulis. Hampir pada setiap karyanya terdapat sisi absurditas yang dituliskan baik secara implisit maupun eksplisit. Hal ini berlaku pula pada cerpennya yang satu ini. Ada beberapa bagian pada cerita yang menurut penulis mengandung penalaran yang absurd, seperti anjing-anjing yang tiba-tiba datang dan menggagalkan tokoh utama dalam ujiannya menggigit daun telinga mayat seorang perempuan. Tidak jauh berbeda dengan Danarto yang berkecimpung dalam absurditas dan membuat para pembacanya bertanya-tanya, Kuntowijoyo yang cenderung beraliran sufi juga menawarkan para pembaca untuk menyimpulkan sendiri dunia filsafat yang ia buat pada cerpen Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan. Resolusi yang dicapai pada cerpen ini adalah warga sekitar yang menemukan tokoh utama pingsan di samping mayat yang terkoyak oleh anjing-anjing kuburan. Ada dua spekulasi yang mendasari tokoh utama dapat tergeletak di samping mayat perempuan itu. Seorang pencuri, atau seorang penyelamat. Kedua pertentangan inilah yang mewarnai cerpen Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan yang penulis anggap sebagai sebuah "sihir". Seolah-olah, eksistensi sihir yang dimaksud berusaha memperkeruh absurditas yang ada, menjabarkan nilai yang rumit, mengejawantahkan nilai yang sederhana, atau bahkan membuat pembaca ketagihan untuk membacanya berulang-ulang lantaran belum mengerti pokok yang disampaikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun