Era pengetahuan yang juga disebut era informasi telah meruntuhkan sekat-sekat geografis dengan kemajuan teknologi informasi yang mengubah dunia ini menjadi sebagaimana layaknya sebuah desa raksasa yang antar penghuninya dapat dengan mudah saling berinteraksi, berkomunikasi, dan bertransaksi kapan saja serta dari dan di manapun mereka berada.
Dampak yang ditimbulkan dari perubahan tersebut sangat luar biasa, antara lain diperlihatkan melalui sejumlah fenomena seperti :
- Mengalirnya beragam sumber daya fisik maupun non-fisik (data, informasi, dan pengetahuan) dari satu tempat ke tempat lainnya secara bebas dan terbuka. Ini telah merubah total lingkup bisnis dan lingkup usaha yang selama ini terlihat mapan.
- Meningkatnya kolaborasi dan kerjasama antar negara dalam proses penciptaan produk dan/atau jasa yang berdaya saing tinggi secara langsung maupun tidak langsung telah menggeser kekuatan ekonomi dunia dari “barat” menuju “timur” dari “utara” ke ‘selatan”
- Menguatnya tekanan negara-negara maju terhadap negara berkembang untuk secara total segera menerapkan agenda globalisasi yang disepakati bersama memaksa setiap negara untuk menyerahkan nasibnya pada mekanisme ekonomi pasar bebas dan terbuka yang belum tentu mendatangkan keuntungan bagi seluruh pihak yang terlibat.
- Membanjirnya produk-produk dan jasa-jasa negara luar yang dipasarkan di dalam negeri selain meningkatkan suhu persaingan dunia usaha juga berpengaruh langsung terhadap pola pikir dan perilaku masyarakat dalam menjalankan kehidupannya sehari-hari
- Membludaknya tenaga asing dari level buruh hingga eksekutif memasuki bursa tenaga kerja nasional telah menempatkan sumber daya manusia lokal pada posisi yang cukup dilematis di mata industri sebagai pengguna
- Meleburnya portofolio kepemilikan perusahaan-perusahaan swasta menjadi milik bersama pengusaha Indonesia dan pihak asing di berbagai industri strategis tanpa disadari menjadi jalan efektif masuknya budaya luar ke tengah-tengah masyarakat tanah air.
Berbagai fenomena tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi merambah ke segala hampir di seluruh negara berkembang yang ada– bahkan beberapa negara maju di dunia barat pun merasakan tantangan yang sungguh hebat akibat munculnya kekuatan dari negara di Asia seperti Cina, India, dan Taiwan.
Perubahan tatanan dunia di era informasi ini terdapat berbagai kekhususan yang utama. Yang pertama adalah terwujudnya masyarakat global yang menjadi kesepakatan antara bangsa, yaitu terbukanya mobilitas yang lebih luas antara satu negara dengan negara lain dalam berbagai hal.
Yang kedua adalah abad ini akan lebih dikuasai oleh perkembangan ilmu dan teknologi yang makin canggih dan berpadu pula dengan ilmu sosial dan humaniora. Dalam menghadapi dunia global, usaha meningkatkan mutu pendidikan sampai bertaraf internasional adalah suatu keharusan agar pendidikan tinggi Indonesia mampu membangun manusia berdaya cipta, mandiri dan kritis.
Sering kali pemerintah dan masyarakat kita berbicara berapi-api tentang keinginan memiliki perguruan tinggi unggul namun pada praktiknya PT sebagai lembaga pendidikan sudah merasa puas dengan kualitas yang sedang-sedang saja. Pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan pendidikan tinggi sepenuhnya mampu mengimbangi era globalisasi dan perubahan zaman, dan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK).
Pendidikan tinggi Indonesia sebagai industri jasa ilmu pengetahuan dan keterampilan harus mampu mengimbangi kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Pengaruh perkembangan TIK terhadap kehidupan manusia merupakan suatu keniscayaan yang tidak terhindarkan.
CK Prahalad pernah mengatakan: ”If you learn you will change, but if you donIf you learn you will change, but if you dont change you will die”.
Kendati demikian, perubahan bukan hal yang mudah untuk diterima. Setidaknya ada lima alasan mengapa orang cenderung menolak perubahan. Kelimanya yaitu persepsi selektif, kurangnya informasi, perasaan takut terhadap hal yang tidak diketahui, kebiasaan, serta penolakan terhadap pihak yang menggagas perubahan (Likert, 1997).
Buktinya adalah jumlah pengguna internet di Indonesia yang diperkirakan mencapai 98,4 juta orang pada 2017. Sayangnya, antusiasme ini tidak dibarengi dengan perubahan kultur baik secara individu maupun organisasi dalam rangka menyikapi dampak kehadiran teknologi baru.
Sebagaimana diungkapkan dalam sejumlah teori perubahan organisasi, dari tiga dimensi perubahan yaitu dimensi struktural, fungsional, dan kultural, dimensi kulturallah yang paling sulit untuk berubah. Ini tentu tantangan tersendiri bagi para pengelola pendidikan, khususnya pendidikan tinggi. Institusi pendidikan merupakan wadah yang paling efektif dalam membentuk dimensi kultural seseorang, di luar keluarga dan lingkungan pergaulan.