"Aku harus ke rumah sakit lagi nanti pagi-pagi," kataku, membuat Kirana cemberut lagi.
"Lagi?" tanyanya memastikan. Aku mengangguk.
"Kalau lusa bagaimana? Kamu janji mau ajak aku main,"
"Aku belum tahu," jawabku. Kirana menunduk sesaat, tapi dia kembali mengangkat wajahnya dan tersenyum ceria.
"Kalau nggak jadi juga nggak apa-apa. Kamu capek kan? Ayo istirahat," katanya sambil menarik tanganku.
Entah apa yang ada dipikiranku saat ini, tapi yang aku tahu tanganku menarik Kirana dan memeluknya. Kirana nampak kaget dan tentu saja refleks ingin melepaskan diri.
"Sebentar saja," kataku membuatnya diam.
"Sebentar saja. Aku kangen. Rasanya susah sekali untuk melihatmu sekarang-sekarang ini. Rasanya jadi berkali-kali lebih capek karena aku jadi berusaha keras untuk menyelesaikan semuanya sesegera mungkin, tapi tetap saja aku kesusahan walaupun untuk mencuri waktu bertemu kamu sebentar. Jadi diam saja seperti ini kalau memang kamu nggak merasakan hal yang sama," ujarku panjang lebar.
Aku diam dan tetap memeluk Kirana beberapa saat. Aku tidak bisa melihat bagaimana ekspresi wajahnya saat kukatakan segalanya. Tapi tiba-tiba aku merasakan tangannya bergerak dan dia balas memelukku.
"Aku juga sama. Rasanya susah disini kalau kamu nggak ada," kata Kirana.
Rasanya aku tidak mempercayai telingaku. Tapi aku sangat bahagia, seolah lelahku menghilang begitu saja. Aku mendapatkan jawaban yang bertahun-tahun kutunggu. Aku mendapatkan Kirana, seperti yang aku harapkan. Mulanya aku ragu karena melihat Kirana yang rasanya lebih dekat pada kak Nino, tapi semuanya sudah terpatahkan.