Mohon tunggu...
Yusril Izha Mahendra
Yusril Izha Mahendra Mohon Tunggu... Dosen - Mahasiswa Ekonomi Pembangunan

Keberanian Itu Mewabah

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pelecehan Seksual di Lampung: Masalah Serius dan Pentingnya Kesadaran Masyarakat

6 November 2024   18:28 Diperbarui: 6 November 2024   18:33 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

"Berdasarkan introgasi yang dilakukan, pelaku yang bernama Fadlurahman Zikri mengaku telah mencabuli siswi kelas 6 sebanyak 3 kali. Diketahui pelaku merupakan ketua yayasan dan guru Bahasa Arab di SD tempat korban sekolah"

Potongan berita di atas merupakan topik yang saat ini tengah ramai diperbincangkan khususnya masyarakat Lampung. Sebab meskipun telah ditetapkan sebagai tersangka pelaku tidak ditahan. Alasannya adalah pelaku mengajukan penangguhan penahanan dirinya serta telah menyerahkan uang sebesar Rp50 juta dan sertifikat tanah sebagai jaminan.

Pemberian penangguhan tersebut tentu sangat ironi dengan perbuatan pelaku. Seperti dinyataan diawal bahwa pelaku tidak hanya melakukan perbuatannya sekali namun hingga 3 kali yang menyebabkan korban trauma. Pertama, pada 20 September 2024. Didalam mobil miliknya, pelaku melakukan perbuatan tidak senonoh terhadap korban disuruh memegang dan "memainkan" kemaluan pelaku sampai mengeluarkan air mani (sperma). Kedua, pada 26 September 2024. Disekolahya pelaku menyuruh korban untuk naik ke ruangan kelas yang terletak di lantai 2 dengan alasan untuk mengunci kelas, lalu pelaku mengikuti korban dan pelaku memeluk lalu mencium bibir korban. Ketiga, pada 29 September 2024 pelaku melakukan aksinya lagi di dalam mobil.

Kasus pelecehan seksual seperti yang dilakukan oleh Fadlurahman Zikri di lingkungan pendidikan sebagai seorang guru, bukan yang pertama terjadi sepanjang tahun 2024 di Lampung. Beberapa diantaranya kasus Affi Jauhari guru TPA di Lampung Barat yang melecehkan 4 muridnya, kasus Basirun sebagai guru  ngaji di Kabupaten Lampung Barat dan Kasus pelecehan di SMA Negeri di Kabupaten Lampung Utara.

Dari beberapa kasus pelecehan seksual di lingkungan sekolah yang terjadi di Lampung sepanjang tahun 2024 ini, memberikan beberapa fakta baru yang sebelumnya bagi kebanyakan masyarakat adalah mitos. Pertama, mitos bahwa kekerasan seksual hanya dialami oleh perempuan saat sudah berusia dewasa saja. Mayoritas masyarakat kita meyakini bahwa wanita yang telah dewasa merupakan target utama bahkan satu-satunya korban pelecehan seksual. Namun nyatanya berdasarkan penelitian Arsa Ilmi Budiarti, et.al (2020) mengungkapkan bahawa 72,1% korban kasus pelecehan seksual berumur 6-18 tahun (anak-anak). Ada beberapa alasan mengapa anak sering kali menjadi target kekerasan seksual yaitu: anak selalu berada pada posisi yang lebih lemah dan tidak berdaya, moralitas masyarakat khususnya pelaku kekerasan seksual yang rendah, kontrol dan kesadaran orang tua dalam mengantisipasi tindak kejahatan pada anak yang rendah (Hertinjung: 2009).

Kedua, mitos beranggapan bahwa perempuan diperkosa/dilecehkan secara seksual karena pakaiannya terbuka mengundang. Selama ini masyarakat umumnya memiliki persepsi bahwa korban pelecehan seksual karena dianggap 'mengundang' aksi pelecehan dengan memakai baju seksi. Tetapi fakta sebenaranya berdasarkan survei yang berjudul "Survei Pelecehan Seksual di Ruang Publik di akhir tahun 2018" oleh Change.org (2018). Mengungkapkan bahwa mayoritas korban pelecehan tidak mengenakan baju terbuka saat mengalami pelecehan seksual. Dan 14% diantaranya korban menggunakan seragam sekolah. Dari kedua fakta ini, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa pelaku pelecehan seksual tidak memperhitungkan umur korbannya dan meskipun tidak menggunakan pakaian yang terbuka.

Untuk menyusun strategi yang berbasis bukti sehingga kemudian dapat diaplikasikan dan tidak sebatas wacana public, maka kita perlu menganalisis apa saja faktor-faktor utama dari pelecehan seksual tersebut. Pertama, menormalisasi percakapan dan sentuhan kepada peserta didiknya yang lawan jenis. Kesalahan awal yang sering terjadi oleh guru dalam dunia pendidikan adalah menormalisasi percakapan yang berlebihan dan sentuhan kepada murid yang lawan jenisnya dengan alasan agar akrab. Sehingga pada akhirnya ketika hal tersebut sudah menjadi normal dalam lingkungan sekolah maka batas yang sebenarnya tetap ada antara laki-laki dan perempaun walaupun guru menjadi bias. Kedua, korban enggan melapor. Pada dasarnya ketika menjadi korban kekerasan seksual ia tau harus melapor ke guru, orang tua, keluarga atau Polisi. Namun pada praktiknya hampir seluruh korban pelecehan seksual baik anak-anak atau dewasa enggal untuk melapor. 

Beberapa alasan yang mendasari mereka enggan untuk melapor adalah takut dan malu. Ketiga, komunikasi dan hubungan antara peserta didik dengan orang tua yang buruk. Ketika hubungan antara peserta didik dan orang tua kurang baik, peserta didik mungkin tidak merasa nyaman untuk membicarakan pengalaman mereka di sekolah atau berbagi masalah yang mereka hadapi. Hal ini dapat menyebabkan kurangnya dukungan dan pengawasan yang diperlukan dari orang tua. Komunikasi yang buruk antara peserta didik dan orang tua juga dapat menghambat pemahaman orang tua tentang tanda-tanda pelecehan seksual atau peran mereka dalam mencegahnya (Ubaidah, et al, 2024). Keempat, peningkatan ketegasan aparat keamanan dalam menindaklanjuti laporan peecehan seksual.

Dalam mencegah dan menghadapi pelecehan seksual khususnya bagi anak-anak di lingkungan sekolah tentu harus melibatkan semua pihak dan tidak membebankan tanggung jawab hanya kepada pihak tertentu saja. Pertama, meningkatkan perilaku asertif pada anak. Perilaku asertif bisa diartikan sebagai perilaku seseorang yang bersedia mengatakan dan menyampaikan pikiran maupun perasaannya. Korban pelecehan seksual sering kali tidak bersikap asertif karena karena ketika korban tersebut bersikap asertif, orang-orang di sekitarnya tidak membantu menolongnya dari pelaku pelecehan seksual. Di sisi lain, asertivitas korban pelecehan seksual juga dianggap memunculkan aib pada konteks budaya tertentu. Sehingga, korban memilih untuk tidak bersikap asertif setelah mendapatkan perilaku pelecehan seksual. Dinamika semacam ini yang kemudian membuat pelaku pelecehan seksual berpeluang mengulangi perilakunya kembali. Maka dari itu, ketika seseorang mendapatkan perilaku pelecehan seksual, maka sebaiknya segera bersikap asertif dan menghindar.

Kedua, perbaikan kualitas hubungan antara orang tua dengan anak. Orang tua harus mengajar anak-anak mereka tentang perilaku asertif jika ada orang lain yang menunjukkan perilaku seksual yang terbuka. Di sisi lain, orang tua juga dapat mengajarkan anak-anak mereka tentang pengendalian diri, termasuk cara mengendalikan dorongan seksual mereka sendiri, sehingga mereka dapat mencegah perilaku seksual berikutnya . Orang tua dapat melakukan apa yang harus mereka lakukan untuk melindungi anak mereka dari mengungkapkan hal-hal seksual, karena beberapa kasus justru dilakukan oleh orang tua.  (Saifuddin, 2021).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun