Mohon tunggu...
yusril iza
yusril iza Mohon Tunggu... Lainnya - Volunteer

Belajar dari hal yang sederhana

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sebagian Masyarakat Telah Menjalankan Puasa, Penyebabnya adalah Kelaparan

15 Maret 2024   14:01 Diperbarui: 15 Maret 2024   14:07 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sebuah realitas sosial, yang dihadapi oleh masyarakat, dapat dikategori sebagai keadaan yang telah menjangkit. Proses dialektika yang sifatnya terlalu natural, dan terus akan menjerumus pada penumpukkan sampah, sehingga identik dengan kebusukan dan kotor, yang kemudian mengawali sebuah penyakit bagi umat manusia apabila terkena dampaknya. 

Memiliki sikap egoisme, yang selalu menghancurkan manusia lain, seperti taring yang menggigit sampai pada tulang yang paling keraspun. Sangat menyakitkan dan terasa nyerinya. Inilah sakit yang dirasakan oleh manusia. Manusia saling bersaing dan menjatuhkan satu sama lainnya. Akibatnya, banyak manusia yang kalah, dan yang kalah dijadikan sebuah percobaan dari program manusia yang menang. Program yang dibuat, sangat menarik perhatian, akibatnya banyak manusia lain, bersimpati untuk lebih dekat dan menaruh kepercayaan. 

Situasi saat ini, masyarakat mengalami masa kepatuhan terhadap agama. Bagi umat beragama, telah berlaku sebuah kepatuhan semenjak 12 Maret 2014 hingga 12 April 2024. Kepatuhan ini akan mengajarkan orang, yang selama ini dilanda kelaparan. Kelaparan menjadi entitas sistem yang dibuat oleh manudia dengan siakp egoisme. 

Ada seperampat miliar masyarakat Dunia yang menderita kelaparan. Akibatnya terjadi krisis pangan dan kekurangan gizi global. World Food Programme (WFP), Menyampaikan ada 345 juta orang dari 79 Negara, mengalami kelaparan. Bahkan masih banyak lagi, lebih dari apa yang kita bayangkan, setidaknya data itu menujukkan keadaan masyarakat jauh lebih buruk dan miskin. 

Masalah pasti punya akarnya. Akar tumbuh akibat dari sebuah proses, yang berhubungan dengan sistem. Akar kelaparan sangat erat kaitannya dengan ekonomi politik. Ekonomi yang tidak pernah akur dengan sistem sosial, sehingga asa manusia tidak pernah terwujud yakni "kesejahteraan". Asa ini hancur akibat dari ekonomi egoisme yang selalu bersaing dan meruntukan. Politik juga ikut berperan terhadap akar kelaparan. Politik bukan selalu dengan kekuasaan negara, namun perebutan kekuasaan individu yang ingin menguasai manusia lainnya. 

Mari berjalan masuk ke negara ini. Sebuah realitas masyarakat yang merasakan kelaparan. 16,2 juta orang Indonesia mengalami kelaparan. Menurut Food and Agriculture Organizatioan (FAO), Indonesia tahun 2022 merupakan negara dengan peringkat ke 2 se Asia Tenggara. Peringkat kelaparan Indonesia sebanyak 5,9% dari total populasi Indonesia. 

Sebagian masyarakat telah terbiasa berpuasa, bukan tuntutan agama sebagaimana saat ini umat muslim Indonesia berpuasa. Kebiasaan puasa, di karenakan masyarakat yang miskin dan tidak bisa membeli makan. Ini sebuah realitas bukan kepatuhan agama. Ini sebuah penderitaan, bukan hikayat dari seorang agung yang mencemooh terhadap utopis atau obat penenang. Inilah kehidupan 1,6 juta orang, yang selalu lapar dan tidak bisa makan dalam 3 kali sehari. Kelaparan ini merupakan ekonomi politik yang dibangun oleh seseorang yang selalu memiliki egoisme. Orang-orang ini tidak memikirkan hajat orang banyak. Sesekali membicarakan rakyat yang lapar. Itu semua propagandis yang hipokrit. Tidak ada tindakan nyata dalam menyelesaikan kelaparan. Hanya bersedekah, merasa moral sesaat. Merasa berkewajiban terhadap kepatuhan agama, sehingga menganggap orang yang paling mulia dan darmawan.

Di balik orang yang baik hati dan darmawan, terdapat orang yang meninggal. Karena tidak dapat dikasihanin. Cara orang yang baik hati ini, tidak akan menyelesaikan kelaparan di negeri ini. Daerah Yahukimo adalah daerah masyarakatnya yang mati, karena kelaparan. Di kediri, Ibu dan Ana  menghadapi sang khalik, meminta pertanggung jawaban atas kelaparan yang diderita. 

Fenomena inilah, yang mempotret kehidupan di Negeri Ini. Kelaparan ibaratkan puasa. Perbedaannya, bahwa orang yang mengalami kelaparan adalah orang yang diakibatkan ekonomi miskin. Risau dan menahan kepedihan dari sebuah asa untuk kapan bisa makan. Jauh dengan puasa, tuntutan agama dan kebutuhan makan tercukupkan. Tidak perlu risau, karena kebutuhan makan telah tercukupi. Orang yang lapar tidak mengenal untuk bersantai, karena harus bekerja mencari makan, siang, malam, pagi, sore harus memikirkan untuk hidup.

Berpuasa hanyalah metafora. Bagi orang yang mengingat sedang berpuasa, bahwa ia sedang menikmati kelaparan. Namun praktek puasa hanya sebatas agama dan formalitas belaka, dan tentunya tidak ada makna dari kewajiban puasa dalam mengubah sistem sosial yang lebih sejahtera.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun