[caption id="" align="aligncenter" width="632" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)"][/caption]
Kalau saja Mahkamah Konstitusi (MK) kabulkan permohonan uji UU Pilpres yang saya ajukan, maka persoalan konstitusionalitas Pilpres tidak akan serumit sekarang. Pilpres menjadi lebih sederhana, karena setiap partai politik (parpol) atau gabungan parpol peserta Pileg boleh mengajukan pasangan calon presiden (caprea)/calon wakil presiden (cawapres). Maka sifat multitafsir atas norma Pasal 6 ayat 2 UUD 1945 dapat diakhiri. Parpol atau gabungan parpol mengajukan capres sebelum Pileg. Dengan demikian, “koalisi” kalau ada, juga lebih murni karena masing-masing parpol belum tahu perolehan suaranya dalam Pileg. “Koalisi” takkan serumit dan tergesa-gesa seolah “kawin paksa” seperti sekarang ini.
“Koalisi” model sekarang ini berisiko tinggi: potensi konflik antara Presiden dan Wakil Presiden, juga antara menteri dengan Presiden. Hal demikian berpotensi menimbulkan pemerintahan yang tidak efektif. Pemerintah tidak efektif akan merugikan rakyat yang telah memilih mereka. Tapi MK menolak permohonan saya. MK bilang mereka tidak berwenang menafsirkan Pasal 6 ayat 2 UUD 1945 yang saya mohon.
Belum usai persoalan konstitusionalitas Pilpres 2014 ini, kini muncul lagi persoalan terkait norma Pasal 6 ayat 2 dan 3 UUD 1945. Kalau pasangan hanya 2, berlakukah norma yang diatur dalam Pasals 6 ayat 3 bahwa pemenang harus menang minimal 20% di 1/2 +1 provinsi? Atau langsung lompat ke pasal 6 ayat 4 pasangan langsung jadi pemenang asal memperoleh suara terbanyak?
Kelihatannya Pasal 6 ayat 2 mengasumsikan jumlah pasangan adalah lebih dari dua. Tidak mengantisipasi kalau pasangan hanya 2. Ha..ha.., kalau saja MK kabulkan permohonan saya, persoalan konstitusionalitas Pilpres 2014 terkait pasal 6 ayat 3 dan 4 takkan ada, sebab jumlah pasangan capres/cawapres pasti akan lebih dari dua pasangan seperti sekarang he...he...he.
Kini kedua pasangan saling berhadapan menghadapi Pilpres 9 Juli, sementara pasal 6 ayat 3 dan 4 masih jadi perdebatan. Kalau tafsir atas pasal 6 ayat 3 dan 4 ini belum clear, potensi risiko “rame” di Pilpres 2014 bisa saja terjadi. Kini siapa yang berwenang menafsirkan ketentuan Pasal 6 ayat 3 dan 4 UUD 1945 tersebut? Para Akademisi? Atau Politisi? Atau kedua pasangan? He...he...he.
Semua mereka boleh saja menafsirkan, tapi tafsir mereka kan sesuai bidangnya, tidak mengikat siapapun. Harusnya MK yang menafsirkan, karena mereka punya otoritas. MK kan bilang mereka penafsir tunggal konstitusi. Tapi, jangan lupa, MK menolak permohonan saya untuk menafsirkan Pasal 6 ayat 2 dengan alasan tidak berwenang, seperti saya katakan tadi. Maka saya, yang netral dan tidak mau ikut-ikutan dukung mendukung salah satu pasangan dalam Pilpres 2014 ini tinggal tersenyum saja melihatnya.
Baiknya dua capres, Prabowo dan Jokowi kita minta menyelesaikan masalah ini. Bukankah keduanya calon presiden dan pemimpin kita! Mari kita lihat bagaimana keduanya menyelesaikan persoalan ini sebelum mereka menyelesaikan persoalan rakyat, bangsa dan negara ini.
Demikian komentar saya. Yang mau kutip silahkan! Monggo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H