Assalamu'alaikum wa Rahmatullahi wa Barakatuhu!
Saya ingin meluruskan berbagai kesalahapahaman atas Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Peninjauan Kembali (PK) lebih sekali yang dimohon oleh Antasari Azhar (AA). Yang dimohon oleh AA untuk diuji terhadap UUD 45 adalah norma pasal 268 ayat 3 KUHAP, yang mengatur bahwa PK hanya boleh dilakukan 1 kali saja. AA tidak menguji pasal-pasal yang substansinya sama, yang juga diatur dalam UU yang lain, seperti UU Kekuasaan Kehakiman dan UU Mahkamah Agung. Jadi, ruang lingkup permohonan AA adalah spesifik hukum acara pidana saja, sebagai hukum formil untuk menegakkan hukum pidana materil.
Keterangan Ahli yang saya sampaikan dalam sidang MK pun tegas mengatakan demikian, bahwa permohonan uji terhadap PK itu spesifik hanya untuk pidana. Jadi, ketika permohonan AA dikabulkan maka yang boleh PK lebih sekali hanya dalam perkara pidana saja. Untuk perkara lain seperti perkara perdata, tata usaha negara dan lain-lain, PK tetap hanya boleh dilakukan satu kali saja.
Yang berhak mengajukan PK hanyalah terpidana, keluarga dan penasehat hukumnya. PK dapat diajukan jika ada novum atau bukti baru yang ditemukan kemudian setelah perkara diputus dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Asumsinya, jika sekiranya alat bukti tersebut diungkapkan di persidangan sebelumnya, maka kemungkinan terdakwa akan dibebaskan dari dakwaan. Selain novum, alasan PK juga didasarkan atas adanya kekhilafan hakim yang nyata dalam memutus perkara pidana tersebut. Atau adanya pertentangan putusan terhadap perkara tersebut dengan perkara yang sama, yang sebelumnya telah diputus inkracht oleh pengadilan.
Jaksa Penuntut Umum tidak berhak mengajukan PK, karena filosofi adanya PK adalah untuk melindungi kepentingan terpidana dari ketidakadilan. Namun demikian Jaksa Agung berhak ajukan PK yang dinamakan "PK demi hukum". Kewenangan ini hanya ada pada Jaksa Agung. Jaksa biasa tidak bisa.
PK demi hukum itu hanya boleh digunakan Jaksa Agung semata-mata untuk kepentingan keadilan bagi terpidana. Misalnya, Jaksa Agung menemukan novum bahwa terpidana bukanlah pelaku kejahatan, tapi orang lain, sementara terpidana sudah dihukum. Dalam keadaan demikian, Jaksa Agung dapat berinisiatif ajukan PK untuk membebaskan terpidana yang salah dakwa tersebut. Namun Jaksa Agung tidak boleh ajukan PK demi hukum dengan tujuan untuk memperberat hukuman orang yang sudah dipidana. Jaksa Agung juga tidak boleh ajukan PK untuk menghukum terdakwa yang dibebaskan oleh pengadilan karena dakwaan tidak terbukti dan sudah inkracht.
Apa yang saya katakan di atas. dulu sering dilanggar oleh Kejaksaan Agung, lebih-lebih oleh Jaksa Agung Kanjeng Raden Temenggung Hendarman Supandji. Jaksa Agung Basrief sekarang ini tegas, sudah tidak mau ajukan PK karena menyadari hal tersebut adalah salah dan bertentangan dengan Undang-Undang (UU).
Persoalan PK boleh lebih sekali kini banyak diperdebatkan dari sudut pandang keadilan dan kepastian hukum. Keadilan dan kepastian hukum adalah dua hal yang sejak lama diperdebatkan dalam filsafat hukum. Dalam filsafat hukum di dunia Barat, keadilan dan kepastian hukum sering dianggap dua hal yang bertentangan. “Hukum adil tapi tidak punya kepastian”; “Hukum pasti tapi tidak mengandung keadilan”, memang merepotkan.
Di MK, saya mengutip pandangan ahli filsafat hukum Islam, Imam Asy-Syatibi. Asy-Syatibi mengatakan bahwa landasan dan tujuan syariah atau hukum adalah al 'adalah atau keadilan. Bukan hukum namanya kalau tidak adil. Sementara norma dan putusan hukum juga wajib bersifat qat'i atau mengandung kepastian. Maka tugas dari ahli filsafat hukum adalah mempertemukan keadilan dan kepastian hukum itu. Sehingga, dalam keadilan ada kepastian hukum, dan di dalam kepastian hukum ada keadilan. Itulah inti argumentasi dalam Keterangan Ahli saya di hadapan MK ketika AA mengajukan uji ketentuan PK hanya sekali dalam pasa 268 KUHAP.
Dalam kasus AA, saya katakan, kepastian hukum sudah ada. Putusan AA sudah inkracht di tingkat kasasi. Bahkan PK-nya juga sudah ditolak oleh MA. Tak seorangpun yang mengingkari fakta bahwa AA kini adalah seorang narapidana yang sedang menjalani hukuman penjara 18 tahun di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Tangerang. Tak ada yang mengingkari fakta tersebut, termasuk AA sendiri. Artinya telah ada kepastian hukum buat AA.
Namun jika saya bertanya sudahkah AA mendapatkan keadilan dengan kasus yang didakwakan padanya dan hukuman yang telah diterimanya?
Saya berpendapat keadilan itu belum didapatkannya. AA masih meronta-ronta menuntut keadilan. Banyak orang sependapat dengan AA. AA sudah PK satu kali dan ditolak MA. Di MK saya bertanya kepada Majelis Hakim MK dengan mengutip argumen MK dalam putusan mereka sendiri. Putusan MK itu terkait dengan putusan yang batal demi hukum sebagaimana diatur di dalam pasa 197 KUHAP yang dimohon oleh Parlin Riduansyah. MK menolak permohonan Parlin dengan mengemukakan Teori Keadilan Substansial dan Keadilan Prosedural.
Kalau secara subastansi/materil sudah terbukti, maka keadilan prosedural tak boleh menghalangi keadilan substansial tersebut. Maka, meskipun putusan hakim tidak memenuhi syarat formil pemidanaan dan putusan menjadi batal demi hukum, terdakwa tetap harus dieksekusi. Atas dasar pendapat MK itu saya tanya, “Andai besok ada orang lain yang terbukti menjadi pembunuh Zulkarnain, dan bukan Antasari, apakah MK akan membiarkan AA terus mendekam di penjara karena tidak ada jalan untuk membebaskannya, karena PK hanya boleh satu kali?”
Bahwa orang lain yang membunuh, tetapi AA yang dihukum adalah persoalan keadilan materil atau keadilan substantif seperti kata MK sendiri. Sementara PK hanya boleh sekali adalah persoalan keadilan prosudural, yang juga seperti dikatakan MK sendiri. Jadi kalau MK menolak PK lebih sekali dalam kasus AA, apakah MK telah berbalik arah mengedepankan keadilan prosedural dan mengabaikan keadilan substansial?
Saya katakan, saya hanya ingin bertanya konsistensi sikap MK terhadap masalah ini. Pada akhirnya saya berpendapat, seperti Imam Asy-Syatibi, “keadilan dan kepastian hukum haruslah dipertemukan, bukan dibiarkan jalan sendiri-sendiri”. Kepastian hukum yang tidak adil dalam kasus AA harus dihentikan ketika keadilan ditemukan.
Lebih jauh, banyak yang berkomentar PK lebih sekali adalah akal-akalan terpidana untuk menunda eksekusi, sehingga tidak ada kepastian hukum. Hal itu tidak mungkin. Karena, PK sama sekali tidak dapat menghambat atau menghalangi eksekusi pidana. Kalau ada terpidana yang ajukan PK, dan dengan itu dia tidak tidak dieksekusi, ini jelas permainan para jaksa selaku eksekutor.
Saya sependapat dengan Mahkamah Agung (MA) bahwa ketika mengajukan PK terpidana harus hadir di persidangan. Statusnya ketika itu adalah narapidana. Dalam hal pidana denda, kalau terpidana ajukan PK, dendanya harus dibayar lebih dahulu.
Ketika saya tangani PK Agusrin Najamuddin, eksekusi memang belum dilaksanakan. Saya buat kesepakatan dengan jaksa, Agusrin saya hadirkan ke sidang PK di PN Jakarta Pusat. Selesai sidang PK dia saya antarkan ke LP CIpinang untuk jalani eksekusi. Jaksa eksekutor telah menunggu di LP Cipinang dan Agusrin saya serahkan kepada Jaksa yang segera tandatangani berita acara eksekusi.
Begitu juga ketika saya tangani PK tepidana Johannes di Pengadilan Negeri (PN) Pangkalpinang, Bangka. Johanes saya hadirkan ke sidang. Saya meminta izin Kalapas Pangkal Pinang untuk keluarkan Johanes dari LP untuk hadir di sidang PK dengan pengawalan petugas LP. Setelah sidang, Johanes kembali ke LP Pangkalpinang. Jadi PK memang baru dapat dilakukan dengan dihadiri oleh terpidana.
Demikian tulisan saya tentang Putusan MK yang mengabulkan Permohoan Uji Materi AA tentang PK lebih sekali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H