[caption id="" align="aligncenter" width="560" caption="Prabowo Subianto | Kompasiana (KOMPAS/Wawan H. Prabowo)"][/caption]
Kalau menyimak norma Pasal 245 UU Pilpres, maka pasangan capres yang bisa dipidana adalah yang mengundurkan diri sebelum pencoblosan. Norma yang sama berlaku bagi parpol pengusung yang menarik mundur pasangan calon yang didukungnya sebelum pencoblosan. Dasar pemikiran adanya norma demikian adalah untuk mencegah batalnya Pilpres, lebih-lebih jika pasangan calon hanya dua pasang. Jika pasangan calon hanya dua, dan salah satu menarik diri dari pencalonan, maka pasangan tinggal satu saja.
Para pembentuk undang-undang tidak menginginkan pasangan yang hanya satu tersebut diadu dengan kertas suara kosong, seperti dalam Pilkades zaman dulu. Sebab itu, jika ada pasangan calon yang telah ditetapkan dan mengundurkan diri sebelum pencoblosan diancam dengan pidana. Partai pengusungnya jika melakukan hal yang sama, diancam dengan pidana pula. Tapi kalau pasangan calon menarik diri sesudah pencoblosan, atau partai pengusungnya berbuat sama, tindakan tersebut tidak diancam dengan pidana. Hal tersebut berlaku baik pada pilpres putaran pertama, dalam hal ada lebih dari 2 pasangan calon, atau pilpres putaran kedua.
Kenapa tidak diancam pidana kalau mundur sesudah pencoblosan? Sebab pengunduran diri tersebut sudah tidak ada efeknya lagi dalam pelaksanaan pilpres. Kalau pencoblosan sudah selesai, ada pasangan calon mundur, suara yang masuk tetap dihitung dan disahkan. Tidak perduli ada yang mundur atau tidak. Sebab itu kemarin saya katakan, mundurnya Prabowo, baik mundur dari pencalonan atau mundur dari rekapitulasi di KPU tidak ada efeknya. KPU silahkan jalan terus melakukan rekapitulasi dan menetapkan pasangan calon terpilih.
Terhadap Prabowo sendiri, apapun tafsir terhadap istilah menarik diri yang dikemukakan, tidak dapat diancam pidana dengan Pasal 245 UU Pilpres. Bahwa belakangan Prabowo dan timnya katakan tidak menerima hasil Pilpres yang diumumkan KPU, hal itu tidak masalah. Juga tidak melanggar UU. Sebab penarikan diri tersebut, seperti telah saya jelaskan, terjadi sesudah pencoblosan. Tindakan seperti itu tidak bisa dipidana.
Dalam Pemilukada, pasangan calon Kepda sudah biasa bersikap demikian. Mereka menolak hasil pilada yang diumumkan oleh KPUD. Sikap pasangan calon Kepala Daerah yang menolak hasil Pemilukada tidak membawa efek apa-apa terhadap keputusan KPU yang menetapkan pasangan pemenang. Hal yang sama secara mutatis-mutandis berlaku pula bagi pasangan Capres.
Jadi Keputusan KPU yang menetapkan pasangan Jokowi-JK sebagai pemenang dalam Pilpres adalah sah, meskipun ditolak oleh pasangan Prabowo-Hata. Sekiranya lewat tiga hari sejak penetapan KPU, pasangan Prabowo Hatta tidak mengajukan perkara ke MK, maka penetapan KPU tersebut menjadi final. Dan Jokowi-JK menjadi pasangan capres-cawapres terpilih yang tinggal menunggu pelantikan oleh MPR tgl 20 Oktober 2014 nanti.
Demikian komentar saya. Salam dari Roma, Italy.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H