[caption id="attachment_318456" align="aligncenter" width="507" caption="kpu.go.id"][/caption]
Selayang pandang
Pemilihan umum
Telah berada di ambang pintu
Marilah kita . . . . . . .
-----------------------------------------
Kutipan lagu yang sempat kudengar saat masih duduk di bangku sekolah dasar, 17 tahun silam. Lagu itu dinyanyikan oleh sekelompok anak dengan diiringi tabuhan rebana yang dinyayikan saat acara halal bihalal. Lagu itu mengisyaratkan akan dilangsungkan pemilu tahun 1997. Pemilu kala itu masih bersifat tertutup, di mana pemilihan presiden/wakil presiden berserta anggota legislatif tidak dipilih langsung oleh rakyat.
-------------------------------------------
Pemilihan Umum (pemilu) legislatif dan pemilihan presiden (pilpres) tinggal menghitung hari dan bulan pelaksanaannya. Ajang pemilihan putra-putri bangsa yang akan duduk bersama rakyat membangun negara Indonesia menuju ke arah yang lebih baik lagi. Tidak heran, kedatangannya selalu dinantikan dan ditunggu. Semua warga Indonesia yang dinyatakan sah oleh hukum turut serta dan larut dalam euroforia acara lima tahunan sekali ini. Bahkan warga Indonesia yang bermukim di negara luar pun tercium aromanya. Mereka memiliki hak yang sama untuk memilih. Namun seringkali mereka yang di sana tidak mengetahui siapa caleg yang akan mereka pilih, apa misi dan visinya. Terpenting mereka tidak golput dan menujukkan sebagai warga negara yang baik.
Eoroforia atau efek pemilu khususnya dalam negeri begitu cetar dan membahana. Bukan hanya pemilih yang dinyatakan syah oleh hukum, tapi anak-anak kecil pun larut akan pesta pemilu. Anak-anak biasanya selalu meramaikan jalan raya ketika ada segerombolan/iring-iringan simpatisan sebuah parpol dalam mengkampanyekan partai dan calegnya. Atribut-atribut kampanye seperti stiker menempel sampai ke buku tulis ataupun tas anak sekolahan. Tak sampai di situ, anak-anak kecil pun turut ke jalanan, lapangan, bahkan iring-iringan mengkampanyekan sebuah parpol. Entah diajak atau tidak, itulah yang terjadi selama ini.
Gegap gempita pemilu bahkan merambah hingga ke panggung (baca mimbar) khotib. Selama dua jum'at dalam dua sepekan ini, isi khutbahmasih seputar pemilu. Di tempat yang berbeda, ketika sholat jum'at yang saya hadiri, isinya sama saja, pemilu. Namun, para khotib tersebut tidak sedang mengkampanyekan dirinya sebagai caleg dalam ritual ibadah agung tersebut. Namun apa yang mereka sampaikan dalam khutbahnya, akan muncul berbagai opini dikarenakan setiap orang memiliki cara pandang dan sudut yang berbeda ketika menyikapi dan menilai sebuah probelma yang sedang ia hadapai atau saksikan. Di jum'at lalu, khotib yang bertugas menyuarakan pentingnya memilih pemimpin yang amanah, yang sudah teruji kualitasnya. Kalimat "yang sudah teruji kualitasnya" kontras sekali dengan kampanye sebuah partai baru, NasDem yang menyuarakan untuk memilih caleg baru.
Berbeda dengan Jum'at minggu ini, Khotibnya terkesan netral menurut saya. Dalam khutbahnya dia menyuarakan untuk tidak menerima uang dari sebuah parpol atau seorang caleg, menyuarakan untuk tidak golput. Lanjut dalam khutbahnya, menerima uang dalam musim kampanye dalam ajaran Islam sama dengan praktik risywah yang secara istilah disebut “memberi uang dan sebagainya kepada petugas (pegawai), dengan harapan mendapatkan kemudahan dalam suatu urusan. Hukum dari pen-suap dan yang menerima suap adalah sama-sama mendapat dosa. Praktik ini sangat dimurkai oleh Allah lewat firman-Nya al-Baqarah (2): 188. Bukan hanya Islam, saya pikir semua agama memiliki konsep yang sama dengan Islam.
Selanjutnya isi khutbah yang kedua menyuarakan untuk tidak masuk dalam golongan putih (golput). Meski ada juga yang menyuarakan untuk golput (minoritas), namun para ulama sendiri lewat fatwanya telah mengharamkan golput. Salah satu rekomendasinya yaitu "Umat Islam dianjurkan untuk memilih pemimpin dan wakil-wakilnya yang mengemban tugas amar ma’ruf nahi munkar". Begitu pentingnya suara kita dalam pentas pemilu ini. Satu suara yang kita berikan begitu berharga dan mampu membawa pada sebuah perubahan kepada bangsa. Oleh karena itu, jangan sia-siakan suaramu meski hanya satu. Lakukan dan tunaikan jika itu mampu membawa pada sebuah perubahan. Namun, jika satu suara yang begitu berharga, kita abaikan dan lalaikan maka sesungguhnya kita telah membawa bangsa kita, Indonesia kepada sebuah kehancuran.
Semoga bermanfaat dan menjadikan sebagai bahan renungan kepada kita untuk tidak golput dan memantapkan pilihan kita saat pileg dan pilpres nanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H