Mohon tunggu...
Yusrianti Hanike
Yusrianti Hanike Mohon Tunggu... -

journalist in pers kampus. LPPM Profesi UNM

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Senduh, Kau Cantik

30 Mei 2013   13:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:48 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Terik matahari menyekat keringat siang itu. Kulit hitam legam dan kaos putih oblong menjadi style andalan.Gitar yang kupetik tak sekalipun membuat pendengar enyah. Kujamin, mereka akan tertarik. Suara yang tak begitu merdu namun lirik yang menyentuh.

Kubernyanyi bukan karena tak punya uang, tapi ini hobi. Ini menenangkan pikiranku setelah merenungi masa depan suram semalaman. Kadang, kuhanya bersiul sembari duduk diatas kursi panjang warung pekalongan. Topi hitam biasa kupake, menutup wajah oriental yang kumiliki.

Aku bangga dengan profesiku, karena ini kumengenalmu gadisku.

***

Suasana ramai menyelimuti Kota Maros, pameran seni ditambah festival daerah menambah senduh masyarakat desa hari itu. Beberapa warga kota kadang hadir hanya untuk melihat ritual yang dilakukan sekali dalam setahun ini.

Aku tampil dengan celana kain merah, kemeja hijau memegang gitar sembari bernyanyi menyusuri para penonton di hilir trotoar. Gaya ala 70-an plus lagu dangdut begang Bang Rhoma Irama lumayan menarik perhatian warga. Bahkan sorak namaku terdengar,

“Uki uki uki”

Alamak, aku bagaikan artis papan atas saja yang sedang konser di kelilingi para fans fanatik. Tetapi bukan itu, yang utama di sudut jalan ada yang cantik. Sangat cantik. Wajah oriental dengan tatapan ayu bertopi bundar. Ia tersenyum. Senyum yang tak pernah kudapat di desa turikale tempatku dilahirkan. Kulit putih nan halus rambut panjang hitam. Mata yang bulat, sapa kah dirinya?

“Oy…… Uki…..lanjut lagunya,”

Teriakan itu membuyar lamunanku.

***

Pukul 17.00 wita, festival daerah selesai. Rambut palsu geribo kulepas. Duduk sejenak di atas batu. Kusekat keringat puas. Upah hari ini sudah di tangan. 100 ribu, lumayan buat seminggu. Ibu pasti sudah menunggu, tak ingin penampilan ini diketahuinya. Lagi-lagi aku tak menginjakkan kaki di kampus timur itu.  Malam gempita, gitar kembali kupetik berkeliling dari setiap warung sari laut. Malam ini, renyah rasanya bersuara, hati seakan senduh mengingat rupa itu lagi.

Besok, festival berlanjut. Semoga bertemu dirinya.

***

Tepat pukul 08.00 wita, kostum yang kugunakan tak lagi ala’ bang rhoma irama melainkan model the beatles. Wik pirang, kacamata john lennon, bertendeng di paruh ayam ini. Lagu kali ini lebih romantic. Di awal perjalanan tak kulihat dirinya yang senduh itu. Rasa sedih mulai bertuah didiriku.

“Tidak.. tidak.. dia ada disana memegang bunga berwarna merah” tuaiku dalam hati. Namun tangan kirinya menggemgam tangan pria lain. Pria eksekutif muda. Aku yakin. Pria dengan setelan kemeja kota-kotak dengan celana kain hitam bersama sepatu pantofel. Dan diriku hanyalah pria badut menghibur dirimu.

“Uki… uki… uki,”

Tak mungkin… dia bersorak memanggil namaku. Suaraku parau. Petikan gitar terus kuiringi. Penuh Tanya. Siapa lelaki itu, mengapa dia tahu namaku, apakah dia memperhatikanku. Harapku besar, cemburuku juga besar.

Buyar. Petikan gitar sepanjang jalan seakan begitu cepat. Hingga sang mentari lagi-lagi memerah memandangku.

***

Malam ini penuh sesak, nyanyian dari tiap bus ke bus kuiringi lagu senduh. Lagu Tanya. Lagu tentang dirimu kau kekasih di hatiku. Senduh aku cemburu. Senduh aku mencintaimu.

Malam ini jelas aku akan sulit tidur, jelas hanya memikirkan esok dirimu bagaimana.

***

Di hari ketiga festival, berarti hari terakhir kubernyanyi sepanjang  trotoar kota Maros ini. Dan itu juga berarti hari terakhir kumelihat, tanpa kutahu siapa nama si senduh itu.

Kali ini tak ada style ku tampakkan. Ku ingin dirimu tahu diriku. Tahu Uki yang pernah kau sorak. Ini rupa ku Senduh.

Petikan gitar kuhentak. Aku berjanji hari ini coba tuk tahu kau senduh. Berjalan. Lagi, dengan senyum mendengar sorakan para warga. Setengah perjalanan kulalui tak kulihat hidung kecil miliknya. Tak urungku, kini kubernyanyi.

Kurasa tetesan air jatuhdi pipi. Hujan. Barisan festival buyar. Pupus sudah pertemuan itu. Kubiarkan kemeja kotak-kotak biru itu basah. Tak urung diriku pergi. Untuk apa? Tujuanku hari ini sia-sia. Tapi tidak, tubuh itu menyentuhku. Tangan dengan cincin  putih. Kulit kuning langsat itu memayungiku. “Mas Uki hujan…”

Mata bulat yang kumaksud, bibir merah itu, sihidung kecil, rambut hitam tebal panjang itu. Ia disampingku dengan payung.

“Uki kan? “

Aku mengangguk

“besok tak ada lagi pamerannya?

“iya” jawabku lagi singkat. Ini benar tak kusangka.

“Suaranya bagus Bang”

Dia suka suaraku. “Tinggal dimana ?” kuberanikan bertanya padanya

“Di kota Bang,”

Kami terdiam.

Hingga hujan itu berhenti. Tak mengerti suasana hatiku yang ingin tetap satu payung dengannya.

“Bisa dengar nyanyi lagi Bang?”

“Iya.. tapi lagu apa?”

“terserah,”

You’re beatifull petikan gitar yang tiba-tiba hinggap dipikiranku. Ia tersenyum. Hari ini melengkapkan hariku dengannya. Dan hari itu pula kusadari diriku tak pantas olehnya. Di ujung lagu mobil sedan silver tiba-tiba datang. Suara dari Dibalik kaca mobil memanggil Senduh, iya nama senduh. Lalu terlihat pria yang pernah ia genggam. Dan disebelahnya, pria tua yang kerap kulihat. Ya benar kukenal pria tua itu. Ia yang selalu berdiri di podium saat ku di kampus timur. Ia pemilik kampusku. Si Senduh berajak dari duduknya. Mengambil  selembar uang berwarna merah. Ia menulis kata di uang itu. Lalu pergi dengan sedan itu, dengan pria eksekutif itu, dan dengan pria pemilik kampusku. Senduh kini kutahu namamu. Cantik.

You’re beautifull

My life is brilliant
my life is pure
I saw an angel
of that I’m sure,
She smiled at me on the subway,
she was with another man
but I won't lose any sleep on that
cause I got a plan.

You’re beautiful
You’re beautiful
You’re beautiful, it’s true
I saw your face in a crowded place
And I don’t know what to do
cause I’ll never be with you.

Yes she caught my eye,
as I walked on by
she could see from my face
that I was flying high
and I don’t think that I'll see her again
but we shared a moment
that will last til the end.

You’re beautiful
You’re beautiful
You’re beautiful it’s true
I saw your face in a crowded place
And I don’t know what to do
cause I'll never be with you.

Lalalalalala Lalalalalala Lalalalala La

You’re beautiful
You’re beautiful
You’re beautiful it’s true
There must be an angel with a smile on her face
when she thought up that I should be with you.
But it’s to time face the truth,
cause I'll never be with you

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun