[caption id="attachment_141531" align="alignnone" width="400" caption="Badik Untukmu Gusti"][/caption] Di sebuah kamar berukuran 3x3 m, pria itu duduk termenung memandangi sebuah amplop yang tergenggam di tangannya. Dia tahu apa yang kini ia genggam, amplop itu masih utuh. Mencoba tegar, ia membukanya, jelas terpampang nama "Gusti", nama yang ingin bunda jadikan kebanggaan itu, telah dipecat sebagai status mahasiswa. Namun, ia hanya anak yang ingin cita itu. Teringat saat dirinya baru saja masuk di kampus berlabel oemar bakri itu, kepercayaan telak dipegangnya. Dengan tujuan menggapai cita yang titip oleh Ibunda di kampung, ia berjalan bangga dengan kepala yang tak dihuni satu rambut pun, baju lusuh berwarna putih,celana hitam kusam dan tas berisi ijazah. Belum lama ia berjalan tiba-tiba seorang lelaki berambut gondrong memanggilnya, "Hey Kau Botak, jongkok," Ia pun mengikuti perintah lelaki itu. Belum puas, dirinya malah dipukul bagian pelipis kepala lalu perut sebelah kanan. Ia hanya merintih kesakitan... Esok, ia kembali berjalan seakan tak jera dengan kejadian waktu.Lagi, lelaki yang ia temui kemarin menjumpainya kini berbalik dantersenyum. Lalu mengajaknya menuju ruang yang sesak manusia dekil tentu dengan perawakan yang sama dengan pria gondrong itu. Mereka kini mengenal dirinya tanpa harus menunjukkan ijazah itu. Malam gempita, ia kini mengenal keluarga itu. Ia menikmati suasana haru dengan semangkuk nasi yang dibagi untuk lebih dari sepuluh orang. Namun, rasa kenyang itu tetap ada. Mungkin pembicaraan hangat itu yang membuatnya. Beranjak beberapa bulan, ia tak mampu lepas dari keluarga baru itu. Namun tiba-tiba, suara letupan terdengar, ia sadar benar ini sebuah ancaman. tak pikir panjang dirinya keluar melihat kejadian itu, namun tiba-tiba sebuah badik hampir menancap dadanya, naas itu malah terjadi pada pria yang pertama kali dikenalnya. Cucuran darah pun mengalir deras. Ia bersedih bersalah. Tak sadar, satu bulir air merekah, menggelayut di pelupuk mata kemudian bergulir menggelinding membentuk parit di pipi, ia terhanyut masa silam.Semua kenangan itu menjadi sejarah saja. "Badik yang dulu tak sempat mengena dirinya kini lebih baik menusuk saja dada ini, dibanding surat itu yang kau berikan" bisiknya dalam angan. Gusti, Maafkan aku
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H