Mohon tunggu...
Yusran Pare
Yusran Pare Mohon Tunggu... Freelancer - Orang bebas

LAHIR di Sumedang, Jawa Barat 5 Juli. Sedang belajar membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Duka Cita Akhir Pekan

8 Agustus 2010   12:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:13 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

BERITA duka menutup akhir pekan kemarin. Dua tokoh politik, seorang istri anggota parlemen, dan seorang seniman besar yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk seni panggung, meninggal dunia. Para putra-putri terbaik bangsa itu meninggal dalam tempo nyaris bersamaan dengan cara berbeda-beda.

Tokoh besar politik nasional, Soetardjo Soerjogoeritno (Mbah Tardjo) meninggal dalam usia 76, Sabtu (7/8) sore di Jakarta. Sebelumnya seniman besar Mimi Rasinah, meninggal dalam usia 80 tahun dalam perjalanan menuju rumah sakit di Indramayu, Jawa Barat. Kedua tokoh itu merupakan 'panglima' di bidang masing- masing, yakni sebagai politisi dan seniman. Mbah Tardjo adalah sosok nasionalis yang konsisten sejak terjun ke Partai Nasional Indonesia (PNI) di era Soekarno sampai lahirnya PDI Perjuangan, setelah gonjang-ganjing melanda Partai Demokrasi Indonesia (PDI) tanpa Perjuangan yang dikooptasi rezim orde baru. Mbah Tardjo boleh dibilang merupakan mentor atau patron bagi politisi yang lahir sesudahnya. Konsistensi sikap, integritas, dan rasa kebangsaannya sulit dicari tandingan. Apalagi di tengah membludaknya politisi dadakan yang masuk parlemen karena kebetulan, karbitan, atau kekerabatan. Sama seperti Mbah Tardjo, Mimi Rasinah adalah sosok fenomenal yang dengan gigih mempertahankan seni tradisi di tengah gempuran arus perubahan yang tak kenal ampun menggilas nilai-nilai tradisi dan memulasnya jadi hiasan semata. Rasinah tidak pernah mau menyerah. Kemiskinan dan kelemahan fisik tak membuatnya berhenti berkarya. Bahkan tiga hari sebelum ajal menjemputnya, dalam keadaan tubuh setengah lumpuh akibat serangan stroke, dia masih memanggungkan tarian kreasinya. Mbah Tardjo dan Rasinah pergi secara wajar karena usia yang demikian uzur, ketika kekuatan dan keberadaan badaniah tak lagi mampu bertahan melawan keniscayaan untuk kembali ke ketiadaan. Dua tokoh lain, yakni Setia Permana seorang politisi muda, dan seorang istri anggota DPR, meninggal dalam usia relatif muda. Masih produktif. Mereka pergi di tengah sukacita berwisata menikmati keindahan, ketika ombak menggempur kapal yang mereka tumpangi dan membantingnya ke pantai berbatu di Manado. Setia Permana, boleh dibilang generasi baru di dunia politik nasional. Akademisi yang selalu gelisah atas perkembangan bangsanya ini baru dalam Pemilu 2009 masuk secara formal. Dia aktif di pergerakan mahasiswa melawan rezim penguasa pada 1977/1978, kemudian mengabdikan dirinya di dunia akademis. Di era reformasi, dia mulai berpaling dari dunia akademis dengan menjadi Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) di daerahnya. Kegelisahannya untuk ikut berperan memperbaiki bangsa 'dari dalam' membuatnya memutuskan bersedia menjadi anggota parlemen. Perannya sebagai anggota dewan yang terhormat itu membawanya ke Manado Sulawesi Utara, untuk sebuah kunjungan kerja. Namun di sana pula kariernya berakhir untuk selamanya. Musibah menimpa rombongan parlemen itu sesaat setelah mereka bersenang-senang menikmati panorama dan keindahan Bunaken. Mungkin tidak perlu dibahas, apakah piknik termasuk di dalam agenda setiap kunjungan kerja anggota dewan. Atau, semata memanfaatkan waktu senggang setelah letih bekerja memperjuangkan aspirasi rakyat. Jika hal itu memang menjadi bagian dari agenda kerja parlemen, seharusnyalah ada persiapan dan prosedur standar menyangkut berbagai keperluannya, termasuk sarana angkutan yang digunakan. Demikin pula mengenai keikutsertaan anggota keluarga. Jika memang ada ketentuan yang membolehkan anggota dewan membawa keluarga saat berdinas, seharusnya juga ada tata cara dan standar yang tegas. Persoalannya bukan apakah biaya keluarga dibebankan kepada negara atau atas tanggungan sendiri, melainkan karena kepergian dan perjalanan anggota ke luar daerah maupun ke luar negeri adalah untuk bekerja bukan untuk bersenang-senang bersama keluarga. Di satu sisi, kepergian orang-orang itu memberi pelajaran berharga bagi anak-anak bangsa tentang bagaimana seharusnya orang mendedikasikan diri sepenuhnya tanpa pamrih kecuali pengabdian pada profesi dan bangsa. Di sisi yang lain, kepergian mereka juga memberi peringatan kepada segenap anak bangsa untuk tidak mencampuradukkan kepentingan dan kesenangan pribadi dan keluarga manakala sedang menjalankan tugas negara. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun