SUNGAI Barito yang jadi urat nadi lingkungan terutama untuk wilayah Kalimatan Tengah dan Kalimatan Selatan, sudah tercemar. Hasil pengujian oleh Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) menunjukkan, pencemaran di beberapa lokasi di sepanjang aliran sungai itu telah melebihi ambang batas. Singkatnya, sudah sampai pada titik membahayakan.
Berita mengenai hal itu seharusnya menjadi perhatian serius yang diikuti oleh langkah konkret penanggulangan, sebelum menimbulkan dampak yang lebih luas. Betul, hal itu sempat jadi topik pernyataan pejabat tinggi di wilayah ini, tapi baru sebatas retorika birokrat.
Jika sungai sebesar Barito sudah tercemar, bagaimana kita bisa membayangkan akibat lanjut yang akan ditimbulkannya, mengingat demikian banyak hal tergantung dan saling terkait dengan air sungai itu.
Apalagi zat yang mencemari sungai itu adalah merkuri dan arsenik. Dua jenis unsur logam berat yang membahayakan kelangsungan makhluk hidup. Tidak hanya berakibat buruk bagi hewan dan manusia, melainkan juga bagi tumbuhan.
Seharusnya, kondisi lingkungan yang ditandai oleh tercemarnya air Sungai Barito itu menyentak kesadaran banyak orang yang diikuti kepedulian serentak untuk segera bertindak melakukan penyelamatan, jangan sampai menunggu ada korban.
Efek pencemaran itu memang tidak seketika. Sekadar menyegarkan ingatan, tragedi minamata di Jepang terjadi sekitar 20 tahun sejak pertama kali merkuri –air raksa– mencemari teluk itu setiap hari. Kandungan zat air raksa di dalam air, terkonsumsi ikan. Ikan-ikan itu ditangkap dan dikonsumsi manusia serta hewan. Akibatnya, sungguh mengerikan.
Awal 1950-an bencana itu mulai menyambar. Perlahan tapi pasti, lingkungan berubah jadi tidak ramah lagi kepada para nelayan yang selama ini hidup menyatu dalam kearifan daur lingkungan teluk kaya ikan tersebut.
Tiba-tiba saja lebih 120 orang keracunan akibat mengonsumsi ikan yang sehari-hari adalah makanan dan nafkah pokok mereka. Secara beruntun korban mulai jatuh. Dalam tempo singkat 46 orang tewas. Jika tak mati, cacat seumur hidup. Bayi-bayi yang sedang dikandung, lahir tak sempurna.
Hewan piaran seperti anjing, kucing, babi, bahkan burung dan tikus yang hidup di sekitar teluk menunjukkan tanda-tanda keracunan yang sama dan satu per satu bergelimpangan, mati. Pencemaran serupa minamata pernah terjadi di Minahasa (Sulawesi Utara).
Sebagai negara kepulauan yang kaya sumber daya alam, laut maupun darat, hampir tiap jengkal bumi kita kaya kandungan alam. Lihat, berton-ton emas sudah digali dari perut Buyat, Busang, Cikotok, Tembagapura dan lain-lain, mengalirkan uang bermiliar dolar yang sepanjang hari ikut mendenyutkan bursa saham Wallstreet di New York dan pengaruhnya bisa langsung terasa di Bloomberg – London, Hangseng Hongkong, Nikkei Tokyo, dan bursa-bursa saham seantero dunia lewat transaksi elektonik serta satelit.
Tapi, lihatlah Barito mulai dicemari racun merkuri. Lihat pula warga Papua, warga pedalaman Kalimantan, mereka masih tetap marginal, dan bayi-bayinya tetap kekurangan gizi, dan –seperti di Minahasa– kini perlahan-lahan menuju kepunahan akibat pencemaran racun.