TIBA-tiba bom meledak. Jemaat Gereja Oikumene Kelurahan Sengkotek, Samarinda Seberang, Kota Samarinda, Kalimantan Timur, berhamburan. Empat anak cedera parah. Mereka sedang bermain dalam keceriaan kecilnya, ketika ledakan itu melontarkan sekaligus membakar mereka.
Sehari kemudian, Intan Olivia Marbun, satu di antara bocah ini meninggal. Mungkin ia tak pernah siuman lagi sejak tubuh kecilnya terpental dan terbakar. Begitu singkat hidupmu, nak, baru dua tahun.
Seorang tersangka ditangkap setelah sempat kabur. Kata polisi, pelaku belum lama bebas setelah dihukum atas keterlibatannya dalam aksi pengeboman di Jalan Utan Kayu Jakarta, Maret 2011 (bom buku). Lelaki asal Bogor, Jawa barat, ini bebas 29 Februari 2012 lalu bermukim di Samarinda.
Peristiwa ini meletus ketika situasi belum dingin betul sesudah demonstrasi 4 November di Jakarta yang disusul “pertempuran” opini di media, terutama di jagat maya. Lontaran-lontaran keji berseliweran. Parade kebencian kian menggila. Buas, beringas, kejam, tanpa nalar, seolah bukan ujaran anak-anak bangsa berbudi pekerti.
Insiden ini seakan meneguhkan anggapan sejumlah pihak, bahwa Indonesia masih jadi sarang teroris. Orang yang meyakini teori persekongkolan, mungkin menganggap ini satu mata rantai dari persekutuan jahat untuk makin mengacak-acak kerukunan di negeri ini.
Bisa juga ada yang menganggap teror di Samarinda cuma operasi untuk memalingkan perhatian dari isu besar yang sedang digoreng di atas “wajan” pilkada Jakarta.
Tak jelas mana yang lebih tepat. Yang jelas, masih saja ada manusia iblis yang tega mencelakakan bahkan membunuh siapa saja dan sebanyak apa pun demi sesuatu yang diyakininya. Korban telah jatuh!
Sejak insiden Bali I, aparat keamanan demikian siaga dan ekstra sensitif soal teroris. Orang-orang yang disebut sebagai pelakunya sudah ditangkapi dan dihukum. Beberapa di antaranya dihukum mati. Jaringannya diobrak-abrik. Tapi, teror toh tetap terjadi.
Kini teror dalam bentuk lain bahkan merajalela di media sosial melalui umpatan, cacian, makian, ancaman, penistaan, kebencian, dan hal-hal buruk lain yang menjijikkan.
Teror bisa muncul dari penjahat, bisa juga dari kaum elite. Pemimpin, politisi dan pejabat tampaknya telah gagal menyelenggarakan komunikasi politik, baik di antara mereka sendiri maupun antara mereka dengan rakyatnya. Yang terjadi, justru cara berkomunikasi mereka membuat rakyat terteror.
Bagaimana rakyat tidak terteror oleh pernyataan mereka yang demikian terbuka, telanjang, dan tanpa tedeng aling-aling tentang perkara-perkara yang semestinya hanya menjadi ‘domain’ mereka sendiri, bukan urusan rakyat awam?
Rakyat masih terus dibebani pekerjaan, menata terus menerus perasaan dan kesabaran serta kebesaran hati untuk menghadapi sendiri kenyataan hidupnya. Termasuk menghadapi aneka bentuk dan wajah teror.
Para pemimpin politik lebih cenderung menyuarakan kepentingan kelompoknya, ketimbang kepentingan bangsa, sehingga dalam skala tertentu kekerasan dan penindasan atas hak orang lain seolah sah saja dilakukan.
Inilah ironi reformasi. Para elite berjalan sendiri melampiaskan nafsu politiknya dengan cara memperalat rakyat. Mereka menghujat, mencaci, bahkan menyerang membabi-buta utuk memaksakan kehendak.
Apa pun alasannya, korban sudah jatuh. Luka hati keluarga, kerabat, dan mereka yang memiliki naluri kemanusiaan, takkan bisa disembuhkan oleh penghukuman seberat apa pun atas pelakunya.
Semua cuma bisa berharap insiden macam ini tidak terulang lagi, sebagaimana ketika kita berharap sesudah bom di Bali, di Jakarta, di Tentena, dan entah di mana lagi...
Selamat jalan Olivia sayang. Maafkan kami tak mampu melindungimu.
Berbahagialah nak, Tuhan menemanimu bermain di sorgaNya. **
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H