Mohon tunggu...
Yusran Pare
Yusran Pare Mohon Tunggu... Freelancer - Orang bebas

LAHIR di Sumedang, Jawa Barat 5 Juli. Sedang belajar membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Maafkan Kami, Olivia Sayang...

14 November 2016   14:39 Diperbarui: 14 November 2016   15:56 1267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

TIBA-tiba bom meledak. Jemaat Gereja Oikumene Kelurahan Sengkotek, Samarinda Seberang, Kota Samarinda, Kalimantan Timur, berhamburan. Empat anak cedera parah. Mereka sedang bermain dalam keceriaan kecilnya, ketika ledakan itu melontarkan sekaligus membakar mereka.

Sehari kemudian, Intan Olivia Marbun, satu di antara bocah ini meninggal. Mungkin ia tak pernah siuman lagi sejak tubuh kecilnya terpental dan terbakar. Begitu singkat hidupmu, nak, baru dua tahun.

Seorang tersangka ditangkap setelah sempat kabur. Kata polisi, pelaku belum lama bebas setelah dihukum atas keterlibatannya dalam aksi pengeboman di Jalan Utan Kayu Jakarta, Maret 2011 (bom buku). Lelaki asal Bogor, Jawa barat, ini bebas  29 Februari 2012 lalu bermukim di Samarinda.

Peristiwa ini meletus ketika situasi belum dingin betul sesudah demonstrasi 4 November di Jakarta yang disusul “pertempuran” opini di media, terutama di jagat maya. Lontaran-lontaran keji berseliweran. Parade kebencian kian menggila. Buas, beringas, kejam, tanpa nalar, seolah bukan ujaran anak-anak bangsa berbudi pekerti.

Insiden ini seakan meneguhkan anggapan sejumlah pihak, bahwa Indonesia masih jadi sarang teroris. Orang yang meyakini teori persekongkolan, mungkin menganggap ini satu mata rantai dari persekutuan jahat untuk makin mengacak-acak kerukunan di negeri ini.

Bisa juga ada yang menganggap teror di Samarinda cuma operasi untuk memalingkan perhatian dari isu besar yang sedang digoreng di atas “wajan” pilkada Jakarta.

Tak jelas mana yang lebih tepat. Yang jelas, masih saja ada manusia iblis yang tega mencelakakan bahkan membunuh siapa saja dan sebanyak apa pun demi sesuatu yang diyakininya. Korban telah jatuh!

Sejak insiden Bali I, aparat keamanan demikian siaga dan ekstra sensitif soal teroris. Orang-orang yang disebut sebagai pelakunya sudah ditangkapi dan dihukum. Beberapa di antaranya dihukum mati. Jaringannya diobrak-abrik. Tapi, teror toh tetap terjadi.

Kini teror dalam bentuk lain bahkan merajalela di media sosial melalui umpatan, cacian, makian, ancaman, penistaan, kebencian, dan hal-hal buruk lain yang menjijikkan.

Teror bisa muncul dari penjahat, bisa juga dari kaum elite. Pemimpin, politisi dan pejabat tampaknya telah gagal menyelenggarakan komunikasi politik, baik di antara mereka sendiri maupun antara mereka dengan rakyatnya. Yang terjadi, justru cara berkomunikasi mereka membuat rakyat terteror.

Bagaimana rakyat tidak terteror oleh pernyataan mereka yang demikian terbuka, telanjang, dan tanpa tedeng aling-aling tentang perkara-perkara yang semestinya hanya menjadi ‘domain’ mereka sendiri, bukan urusan rakyat awam?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun