Mohon tunggu...
Yusran Pare
Yusran Pare Mohon Tunggu... Freelancer - Orang bebas

LAHIR di Sumedang, Jawa Barat 5 Juli. Sedang belajar membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bang Hers

20 Mei 2015   10:32 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:48 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14320917171911196849

Sekali waktu ada jumpa pers di Gedung Sate. Saya hadir. Seorang teman berbisik sambil menunjuk ke arahnya. “Tuh, itu yang namanya Her Suganda, dari Kompas,” katanya. Beu! Ternyata orangnya biasa saja, malah perawakannya termasukl “kecil”. Saya kira sosoknya tinggi besar, brewokan, sangar.

Saya ragu untuk mendekat. Wartawan Kompas gitu lho! Saya ini apalah. Sebelum jumpa pers usai, dia sudah beringsut duluan. Menyelinap keluar. Maka saya pun mengikutinya. Dan dengan perasaan tak karuan, saya memberanikan diri mengejar dan memperkenalkan diri.

Belakangan saya menyadari, Bang Hers seringkali meninggalkan arena jumpa pers sebelum selesai, lebih untuk memelihara integritas tanpa menyinggung orang lain. Ya, hampir dipastikan, tiap selesai konferensi pers, penyelenggara akan bagi-bagi amplop! Jadi, daripada repot-repot menolak atau mengembalikan di tengah orang banyak, lebih baik cabut duluan, menghindarinya.

Sejak itu, saya selalu mencari kesempatan untuk sekadar berbincang jika kebetulan bertemu di tengah peliputan. Asal ditanya, dia senang berbagi.  Tapi, mobilitasnya dan kecepatan bergeraknya memang sulit dikejar. Seringkali, begitu ada kejadian, dia paling dulu mencapai dan mengeksplorasi lokasi.

Saya merasa bangga sekali, ketika suatu saat selesai dari sebuah liputan ditawari dia untuk membonceng motornya. Kami singgah di kantornya, nyelip di belakang toko buku Gramedia di Jalan Merdeka, Bandung (kini jadi Gramedia “mall” yang ramai dan megah).

Sekali waktu, pernah saya lihat dia dengan vespanya meluncur di jalan Merdeka Bandung menuju Gramedia, ia membonceng seorang pria berpantalon warna gelap, kemeja lengan panjang warna khaki, berkacamata lebar berdasi motif garis-garis diagonal, memangku sebuah tas echolac. Pak Jakob Oetama!

Saat Galunggung meletus 5 April 1982, misalnya. Saya merasa sudah sampai ke perkampungan yang paling dekat dengan titik letusan. Eh baru saja masuk ke kampung yang sudah ditinggalkan penduduknya itu, muncul Bang Hers dari dalam kampung yang sebagian tinggal puing.

“Payah lu, kalah sama orang tua...!” ejeknya sambil terkekeh lalu memberi petunjuk apa-apa saja yang masih tersisa di dalam sana, dan rute mana yang relatif lebih aman. Sementara kami berbincang, tiba-tiba dari arah kampung berderap seekor kerbau, diikuti seorang lelaki yang gopoh-gapah menggapai talinya.

Jalan yang kami pijak berdua hanya pematang yang sudah berlapis pasir. Bang hers mendorong saya agar tidak terlanggar kerbau. Dia sendiri jatuh terperosok ke sawah di bawah kami. Sang kerbau melintas dengan sentausa. Hebat sekali. Wartawan Kompas, menyelamatkan wartawan ingusan, dan rela mengorbankn dirinya kecebur ke sawah.

Masih di tengah liputan bencana, suatu kali, saya sedang beristiriahat di sebuah kedai, selesai meliput dan dalam perjalanan pulang ke Bandung. Bang Hers muncul kemudian di kedai yang sama, tampak lelah dan wajahnya penuh debu jalanan. “Wah kamu ngebut, saya sampai repot mengejar. Ini kayaknya notes kamu ya...?”

Hah! Saya menerima notes berisi aneka catatan hasil liputan di lapangan. “Kalau gua buang, mati kau!!” katanya sambil terkekeh. Rupanya, catatan saya terjatuh entah di mana, dan Bang Hers menemukannya. Repot-repot dia mengejar saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun