Mohon tunggu...
Yusran Pare
Yusran Pare Mohon Tunggu... Freelancer - Orang bebas

LAHIR di Sumedang, Jawa Barat 5 Juli. Sedang belajar membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tak Cukup Hanya Mengutuk

2 Juni 2010   12:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:48 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SEKALI lagi Israel menunjukkan kekejamannya. Mereka menyerang secara brutal kapal Mavi Marmara yang akan mengirimkan bantuan kemanusiaan bagi warga Palestina, Senin (31/5) dini hari. Hingga kini, kapal itu masih diblokade Irael. Sejumlah orang tewas, puluhan lainnya terluka, termasuk dua di antaranya warga Indonesia yang ikut dalam misi kemanusiaan itu.
Misi kemanusiaan --Flotilla to Gaza-- adalah misi universal. Pesertanya para aktivis kemanusiaan dari berbagai penjuru dunia. Selain relawan dari unsur Islam, ikut serta seorang kardinal dari Italia, beberapa tokoh Yahudi ortodoks, dan tokoh kemanusiaan lain.
Bantuan kemanusiaan diangkut sejumlah kapal, termasuk Mavi Marmara, sebagai bukti kepedulian warga internasional terhadap kesengsaraan bangsa Palestina yang terpenjara di tanah airnya sendiri akibat keangkuhan Israel.
Dunia mengecam. Namun seperti biasa, Israel tak menggubris sedikit pun reaksi internasional. Ia juga tak mengindahkan sama sekali kecaman dari berbagai kelompok masyarakat di seluruh penjuru dunia yang tercabik-cabik rasa kemanusiaannya oleh kekejaman tentara Yahudi itu.
Israel menolak permintaan dunia internasional untuk mengakhiri blokade atas Gaza. Ia juga menganggap tak perlu ada penyelidikan independen atas tewasnya para aktivis di kapal penumpang Mavi Marmara.
Israel mengklaim serangan itu untuk mempertahankan haknya membela diri dan menjaga kedaulatan. Hal itu mengingatkan kembali atas kebrutalan Israel Juni 2007 ketika mereka menggempur Gaza yang menewaskan lebih dari 50 warga sipil, termasuk anak-anak.
Blokade atas Gaza membuat sekitar 1,5 juta warga menderita. Selain menipisnya stok kebutuhan pokok, mereka juga tidak menikmati pasokan listrik yang memadai. Pemblokiran Gaza sebagai hukuman kolektif yang menyengsarakan rakyat sipil dan bukan hanya warga Arab Palestina.
Bukan hanya kali ini Israel memblokade Gaza. Pada 2004, blokade yang sama menyebabkan 3.000-an perempuan hamil terpaksa aborsi karena tidak memperoleh akses ke rumah sakit, 40 persen dari tiga juta warga Palestina hanya makan sekali sehari dan 70 persen penduduk kehilangan lapangan pekerjaan. Sementara 5.000-an orang tewas, 8.000 rumah rusak, dan 950 madrasah hancur. Sedangkan 300 sekolah dijadikan markas militer Israel sehingga 9.000-an pelajar tidak bisa bersekolah.
Tekanan internasional, tampaknya tak pernah dihiraukan. Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu, seperti juga pendahulunya, kukuh pada pendirian bahwa satu-satunya jalan tengah untuk mencapai perdamaian adalah memerangi --dan kalau perlu-- memusnahkan Palestina.
Israel tetap pada karakternya yang sejati. Ia justru seperti sengaja menghapus jejak-jejak semangat perdamaian yang pernah digalang pada masa Rabin dan Peres. Israel menempatkan diri sebagai puncak kebenaran dan keadilan itu sendiri. Bangsa lain, tidak. Karenanya, mereka tak peduli seluruh bangsa mengutuknya.
Kini suasana yang sempat berangsur mendingin justru seperti kembali jadi bara kebencian yang makin hari kian berkobar. Menyalakan kekejaman demi kekejaman dengan rakyat Palestina sebagai korban dan memunculkan tunas-tunas pembalas dendam.
Sampai kapan Israel dan Palestina bisa rukun? Tak seorang pun tahu. Perdamaian tak akan pernah terwujud selama hubungan antarumat manusia dilandasi kebencian dan balas dendam, seperti yang terus berkecamuk di Palestina Israel.
Lebih dari itu, masalah Palestina sebenarnya bukan hanya urusan rakyat Palestina dan bangsa Arab. Tapi juga persoalan bagi warga dunia, termasuk umat Islam di mana pun. Indonesia pun seharusnya bersikap. Selain (klaim) sebagai negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia, juga sebagai anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (DK PBB), tentu sudah sepatutnya melakukan langkah nyata, bukan sekadar pernyataan politik dan nota diplomatik.
Meski PBB pun tak pernah berdaya mengatur Israel, setidaknya kita harus menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki komitmen terhadap perdamaian di Timur Tengah dan perdamaian dunia, sebagaimana selama ini dikampanyekan. **

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun