Mohon tunggu...
Yusran Pare
Yusran Pare Mohon Tunggu... Freelancer - Orang bebas

LAHIR di Sumedang, Jawa Barat 5 Juli. Sedang belajar membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Madinatun Nabawi (1): Seperti Mimpi

2 April 2014   22:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:10 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1396426385610150279

Persis seperti pedagang real yang sibuk melayani penukaran rupiah di ruang tunggu keberangkatan saat transit di Bandara Soekarno Hatta. Mereka melepas satu real seharga Rp 3.400. Sementara saat pulang sepekan kemudian, gerai penukaran uang di tempat yang sama mematok kurs Rp 2.800 untuk satu real yang tersisa dari Tanah Suci. Ya, real dan pulsa seolah jadi keniscayaan.

Bahkan di dalam pesawat pun, disediakan layanan sambungan bagi mereka yang memerlukannya, tentu dengan tarif khusus internasional. Tak ada lagi batasan ruang dan waktu. Pada saat bersamaan, di ruang yang terpisah ribuan kilometer orang tetap dapat dengan mudah saling behubungan.

Komunikasi sudah jadi kebutuhan mutlak. Saat hendak berkomunikasi dengan Tuhan di rumah-NYA pun, manusia tak bisa terputus komunikasi dengan sesamanya. Ini sekaligus membuka peluang bisnis bagi mereka yang jeli membaca situasi, sebagaimana gairah menyempurnakan ibadah ke Tanah Suci juga membuka pasar yang demikian luas bagi para pebisnis jasa perjalanan wisata dan turunannya. Mulai dari para penyedia perlengkapan keperluan ibadah, hotel, jasa boga, transportasi lokal, hingga jasa pemandu atau mutawif.

Dan, kepada pemandu pula saya pasrahkan segala kepapaan saya dalam tata-titi liturgi yang kemudian nanti dijalani selama di Rumah Allah. Puji Tuhan, dua pemandu kami, Mas Imam dan Mas Nur sudah demikian profesional.

Begitu lepas dari bandara, mereka menyambut dan melayani kami dengan telaten dan penuh perhatian, sampai kami tiba di Royal Dyar, hotel tempat menginap kami selama di Madinah, persis di seberang  gerbang Masjid Nabawi.

Subhanallah. Saya masih seperti mimpi saat menatap masjid itu dari gerbangnya sebelum beristirahat di hotel. Hati tergetar menatap kemegahannya di keremangan malam dalam sejuknya sapuan angin gurun. Tanpa disadari, mata saya berkaca-kaca. Akhirnya tiba juga di masjid yang dulu hanya saya kenal lewat buku-buku dan tafsir berbagai referensi ini.

Ya, hanya lewat referensi tekstual seperti itu, 26 tahun lalu atau pada 1988 saya menyusun naskah dan syair ‘Balada Tahun Baru Hijrah’ untuk siaran nasional keagamaan lingkung seni Lingga Binangkit di Televisi Republik Indonesia (TVRI). Satu di antara syair itu berjudul Madinatun Nabawi yang lagunya digubah Mutohar dan musiknya diaransemen oleh Purwatjaraka:

Madinatun Nabawi,
Madinatun Nabawi,
Inilah Kota Nabi,
Inilah Kota Nabi.....!!

Ketika itu saya tak pernah berani bermimpi bahwa suatu saat akan menginjakkan kaki di Tanah Yatsrib. Tanah yang menjadi tempat hijrah Sang Rasul Allah. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun