[caption id="attachment_392792" align="aligncenter" width="640" caption="Abraham Samad memegang badik di Makassar (foto; sulawesi.bisnis.com)"][/caption]
HARI-hari belakangan, warga media sosial sibuk membahas Abraham Samad. Ada yang hendak menikamnya, namun dukungan atasnya juga berlipat-lipat. Mereka yang mendebat dan mendukung kepada Abraham sejatinya bermuara pada harapan tentang bangsa yang bebas dari korupsi. Namun tahukah orang-orang siapakah sesungguhnya Abraham?
***
SUATU hari di awal tahun 2004. Saya bergegas datang ke Warkop Phoenam di Makassar untuk menjadi moderator diskusi. Pembicaranya adalah guru besar sosiologi Universitas Airlangga, Daniel Sparingga. Ia akan dipandu dengan dua intelektual Makassar yakni Husain Abdullah dan Abraham Samad.
Nah, dua yang terakhir ini tak asing dengan publik Makassar. Husain adalah wartawan RCTI yang juga berprofesi sebagai akademisi Universitas Hasanuddin. Sedangkan Abraham adalah pengacara dan aktivis yang hampir setiap hari bisa ditemukan di warung kopi itu. Abraham akrab dengan semua jurnalis Makassar.
Saat itu, saya berposisi sebagai asisten redaktur politik dari koran Makassar yang belum lama berdiri. Sebagai pengambil kebijakan untuk liputan politik, saya dekat dengan banyak politisi dan aktivis. Saya sering berada di tempat para aktivis selalu berkumpul dan bersenda-gurau. Tempat itu adalah warung kopi yang banyak bertebaran di kota Makassar.
Di mata saya, Abraham adalah aktivis yang suka berkumpul di warung kopi. Sungguh mudah mencarinya. Pada saat itu, salah satu topik paling hangat di Makassar adalah dugaan korupsi beberapa anggota DPRD Sulsel. Sebuah LSM bernama Anti-Corruption Committee (ACC) berdiri di shaf terdepan untuk menggugat korupsi itu. Pimpinannya adalah Abraham.
Lelaki itu menyediakan waktunya 24 jam untuk wawancara. Keseringan ngobrol di warung kopi membuat saya cukup dekat dengannya. Ada atau tidak ada isu, Abraham bisa dicari di situ. Abraham merelakan namanya dikutip di koran, meskipun tak ada wawancara sebelumnya. Saya melihat sisi lain dirinya. Ia suka tampil di media dan forum-forum diskusi.
Di masa itu, Makassar diramaikan dengan diskusi. Setiap minggu selalu saja ada diskusi. Demi meramaikan diskusi, saya bersama Abraham ikut dalam pertemuan yang diadakan oleh kawan Zainal Dalle dan Rusman Madjulekka. Kami merancang beberapa diskusi. Nah, Abraham menjadi salah satu pembicara yang rutin kami undang.
Saat itu, Abraham memang tokoh yang lahir dari iklim aktivisme di Kota Makassar. Kiprahnya nyaris tak pernah terdengar di Jakarta. Padahal, ia seorang penulis kolom yang produktif di koran tempat saya bekerja. Ia juga tampil di banyak diskusi. Ia menjadi sahabat jurnalis yang kerap membutuhkan analisis demi memahami satu kenyataan dengan lebih baik.
Sepintas penampilannya dingin, sorot matanya juga tajam. Awalnya saya tak mau mengakrabkan diri dengannya. Namun beberapa senior dan sahabat saya sering bersamanya, maka sayapun jadi ikut-ikutan akrab dengannya. Ia adalah sosok yang mudah tertawa, agak kontras dengan tampilannya yang sangar.