Mohon tunggu...
Yusran Darmawan
Yusran Darmawan Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Tinggal di Pulau Buton. Belajar di Unhas, UI, dan Ohio University. Blog: www.timur-angin.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Lelaki Kurus di Belakang Baliho Garuda

9 April 2014   20:57 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:52 1705
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_330940" align="aligncenter" width="512" caption="salah satu manusia gerobak (foto: mounyetjawajogetjoget.blogspot.com)"][/caption]

DI balik gegap gempita dan janji-janji selangit tentang membantu rakyat kecil yang kadang diteriakkan di gedung mewah atau di atas kuda seharga tiga miliar rupiah, ada sejumlah orang yang justru bertahan dan bertarung dengan penuh harga diri. Mereka bukanlah pemilik kendaraan mewah yang suka berjanji itu. Mereka adalah rakyat biasa yang menjalani hidup dengan kerja keras dan penuh dedikasi. Lewat bahasa sederhana, mereka mengolok-olok politisi yang sibuk mencari kursi dan kuasa.

***

TAK jauh dari baliho besar bergambar garudan dan wajah seorang presiden, lelaki itu tertidur di atas gerobaknya. Pukul 10.00 pagi, lelaki kurus itu masih saja tidur, padahal di kiri kanannya, kenderaan lalu lalang. Di saat orang-orang juga berbondong-bondong menuju tempat pemungutan suara (TPS) untuk menyalurkan hak pilih, ia tetap terlelap.

Di dekat kompleks apartemen di Kalibata, aku menyaksikan lelaki di atas gerobak itu. Ketika aku mendekati gerobaknya, aku melihat barang bekas, di antaranya gelas plastik, aneka botol bir, serta banyak kantung plastik bertebaran. Lelaki itu tiba-tiba saja membuka mata. Melihatku, ia tersenyum, lalu tiba-tiba berkata dengan suara pelan, "Mas gak pergi nyoblos?" Entah kenapa, hatiku tiba-tiba dibasahi oleh keharuan mengingat betapa dirinya mengingat kewajiban semua warga negara, padahal negara itu sering mengabaikan rakyatnya.

Hampir setiap hari, aku melihat lelaki itu di sekitar tempatku bermalam. Kadang ia tidur di bawah baliho seorang presiden yang saban hari selalu berteriak tentang kesejahteraan rakyat kecil sambil mengepalkan tangan di atas kuda seharga 3 miliar rupiah. Sering pula lelaki itu membawa gerobaknya dan parkir di bawah baliho calon pemimpin berlatar pengusaha besar yang memiliki gedung-gedung pencakar langit.  Kadang pula ia duduk di tengah bawang-barang bekas yang dikumpulkannya sambil memperhatikan gambar seorang kepala daerah yang dicitrakan sederhana.

Namanya Poniman. Usianya 70 tahun. Orang-orang menyebut profesinya sebagai manusia gerobak. Ia menjalani hari di atas gerobak itu. Ia bangun, berjalan, mencari nafkah, hingga tidur di atas gerobak itu. Ia serupa keong yang ke mana-mana membawa gerobaknya. Tapi ia menolak disebut pengemis. Ia bekerja dengan penuh dedikasi demi mengumpulkan barang bekas, lalu menjualnya kepada para pengumpul.

Di gerobak itu pula, ia membawa tas ransel kumal yang isinya adalah seluruh benda kepunyaannya. Aku melihat kantong hitam yang isinya baju kumal dan handuk lusuh. Jangan terkejut. Ia tak punya rumah. Ia tinggal di gerobak itu dan setiap hari berkelana demi menghindari kejaran petugas yang menganggapnya seperti sampah di jalan raya.

Ia berkelana seorang diri. Namun beberapa manusia gerobak lainnya justru adalah keluarga. Ayah, ibu, dan anak sama-sama tinggal di gerobak tua itu. Mereka hidup, mencari makan, dan istirahat di gerobak tersebut. Mereka meletakkan semua 'harta' dan hasil jerih payahnya di gerobak itu. Bagi mereka, kosa kata hidup adalah berpindah-pindah demi mengais-ngais rezeki di jalan-jalan kota Jakarta.

Mulanya ia tinggal di lapak kumuh di dekat pembuangan sampah. Namun, hidup di lapak itu sungguh tak nyaman baginya. Setiap saat ia harus siaga dan melarikan diri ketika aparat datang untuk 'menggaruknya.' Ia dianggap sampah yang mengotori jalan-jalan. Ia dianggap wajib dienyahkan. Keberadaannya mengotori wajah kota yang mestinya nampak kaya dan teratur sebagaimana kota-kota di Eropa. Maka berkelanalah dirinya. Ia hidup berpindah dan sesekali berkelahi dengan nasib yang seolah hendak menyingkirkannya dari kota.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun