[caption id="attachment_397769" align="aligncenter" width="504" caption="Peneliti PSP3-IPB, Helmy Ayuradi Mihardja, memperlihatkan salah satu drone yang dikembangkan di IPB"][/caption]
DI luar negeri, drone atau pesawat tanpa awak dikembangkan menjadi senjata penghancur untuk memusnahkan basis kekuatan musuh. Di Indonesia, drone dikembangkan untuk banyak fungsi. Beberapa bulan terakhir, Institut Pertanian Bogor (IPB) telah merancang drone desa sebagai teknologi yang banyak membantu masyarakat desa. Hebatnya, biaya drone ini termurah di dunia, yakni hanya berbiaya sekitar 3 hingga 10 juta rupiah. Hah?
***
SUATU hari di bulan Agustus 2014. beberapa tim peneliti yang bergabung pada Pusat Studi Pembangunan, Pertanian, dan Pedesaan (PSP3) Institut Pertanian Bogor (IPB) bertandang ke Leuwliang, Bogor. Dipimpin oleh Sekretaris PSP3-IPB Dr Sofyan Sjaf, para peneliti sangat antusias ketika melakukan satu misi penting, yakni uji coba drone untuk membantu masyarakat desa.
Beberapa masyarakat Desa Leuwliang ikut bergabung. Mereka mempersiapkan drone yang akan diterbangkan selama sejam. Drone yang dipersiapkan adalah jenis quadcopter yang memiliki empat baling-baling. Pesawat ini digerakkan oleh baterai dan akan terbang mengikuti koordinat pada GPS yang sebelumnya telah ditentukan.
Saya deg-degan ketika mengikuti proses uji coba itu. Betapa tidak, selama ini drone hanya digunakan untuk keperluan militer. Ada pula yang menggunakan teknologi ini hanya untuk merekam gambar biasa. Namun di PSP3-IPB, drone diharapkan bisa menjadi milik warga desa, yang nantinya akan digunakan untuk membantu masyarakat desa.
Ternyata, uji coba itu sukses. Drone terbang selama lebih kurang sejam dan menghasilkan banyak gambar kawasan perdesaan. Gambar-gambar itu lalu diolah secara digital sehingga menghasilkan peta desa yang sangat akurat. Sekretaris PSP3-IPB, Dr Sofyan Sjaf, menuturkan bahwa selama ini desa tidak memiliki peta. Yang ada di kantor-kantor desa maupun Badan Pusat Statistik (BPS) hanyalah sketsa desa, yang justru tidak menggambarkan apa-apa.
Di saat bersamaan, warga desa kesulitan untuk mengakses peta satelit. Mengapa? Sebab butuh biaya mahal untuk mendapatkan peta itu. Transaksinya memakai uang dolar. Selain itu, gambar dari satelit seringkali buram sebab hanya bisa mengambil gambar dengan skala 1 banding 50.000.
Sementara drone bisa lebih akurat. Drone bisa menghasilkan gambar dengan skala 1 banding 300. "Gambar yang dihasilkan drone ini akan sangat membantu warga desa untuk menyusun peta partisipatif yang bisa menggambarkan potensi dan kekuatan desa. Warga desa bisa menyusun perencanaan pembangunan, termasuk merancang swasembada pangan. Tak hanya itu, mereka bisa menjadikan drone sebagai alat perlawanan," katanya.
Penjelasan Sofyan sangat menarik. Ia menjelaskan satu desa di Kalimantan. Tadinya, warga desa itu kebingungan karena sumber air tiba-tiba saja mengering. Mereka terpaksa menerima keadaan yang menyedihkan itu. Setelah diperkenalkan tentang teknologi drone, mereka akhirnya tahu bahwa di kawasan desa itu terdapat satu tambang bauksit yang telah lama beroperasi.
"Setelah dipotret oleh drone, mereka akhirnya punya fakta yang kuat untuk melakukan perlawanan," katanya. Memang, selama ini warga desa tak punya akses yang kuat pada peta, sebab sering kali peta hanya dimiliki oleh warga kota serta pihak korporasi yang kemudian semakin memperparah konflik di tingkat desa.