Mohon tunggu...
Yusran Darmawan
Yusran Darmawan Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Tinggal di Pulau Buton. Belajar di Unhas, UI, dan Ohio University. Blog: www.timur-angin.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Saat Arkarna Menyanyikan Kebyar-kebyar

17 Agustus 2015   11:05 Diperbarui: 17 Agustus 2015   11:12 5416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya sepakat dengan tuturan Gilderoy Lockard dalam buku Dance of Life. Popular Music and Politics in Southeast Asia, yang terbit pada tahun 1998. Ia mengatakan bahwa selalu ada hubungan antara musik populer dan situasi politik di Asia Tenggara. Ia percaya bahwa seorang penyanyi memiliki peran sebagai aktor politik, yang menggunakan musik sebagai senjata untuk menentang kemapanan satu rezim. Dalam konteks ini, lagu-lagu dan syair yang dihasilkan Gombloh adalah potret realitas sosial, yang secara perlahan telah membakar hati banyak orang tentang situasi zaman kita dan perlunya untuk mengingatkan rezim.

Pada titik ini, kita bisa mengatakan bahwa Gombloh adalah pahlawan besar yang menjadikan lirik dan lagu sebagai senjata. Ia menyajikan potret buram tanah air, sekaligus menyajikan perlunya membangkitkan semangat untuk menyeesaikan kerja-kerja yang belum tuntas. Lagu Kebyar-Kebyar menjadi pernyataan sikap Gombloh terhadap tanah air Indonesia, sebagaimana syair, “debar jantungku, getar nadiku berbaur dalam semangatmu”.

***

HARI ini saya mendengarkan lagu Gombloh dinyanyikan band Arkarna. Batin saya dibasahi oleh semangat Indonesia. Yang segera terasa adalah kebanggaan sebagai bangsa dan negara yang lagu-lagunya dinyanyikan oleh bangsa lain. Yang terasa adalah harapan bahwa bangsa ini “sejak dulu selalu dipuja-puja bangsa.” Melalui Arkarna, kita melihat kembali betapa bangsa kita selalu punya harapan dan potensi besar untuk berkibar di mana-mana.

Melalui Arkarna pula, kita bisa memperbarui kecintaan kita pada beberapa sosok seperti Gombloh. Saatnya memberikan apresiasi pada banyak warga biasa yang memberikan kontribusi pemikirannya untuk negara. Saatnya untuk melihat kemerdekaan sebagai kerja bersama, yang tidak hanya melibatkan para militer, namun juga seluruh elemen masyarakat. Adalah salah kaprah mengidentikkan kemerdekaan dengan tugas para pemanggul senjata. Selama sekian tahun, gambaran kita tentang kemerdekaan adalah perlawanan bersenjata, aksi tembak-menembak, serta prajurit yang terluka di medan peperangan.

Jika tekun membaca sejarah, kita akan menemui satu kesimpulan penting bahwa perjuangan persenjata hanyalah kepingan kecil yang menyangga rumah besar bernama kemerdekaan. Makanya, negara harus hadir untuk memberikan perlindungan kepada seluruh anak bangsa, tanpa kecuali.

Pada diri Gombloh, kita bisa menemukan cermin untuk kembali melihat Indonesia. Kita bisa menyaksikan berbagai masalah, coreng-moreng di wajah bangsa, serta betapa sedikitnya yang kita lakukan untuk mengisi bangsa ini. Pada diri Gombloh, kita menyaksikan Indonesia.

Bogor, 17 Agustus 2015

BACA JUGA:

Iwan Fals: The Voice of Rebellion

Rhoma Irama di Mata Profesor Amerika

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun