Mohon tunggu...
Yusran Darmawan
Yusran Darmawan Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Tinggal di Pulau Buton. Belajar di Unhas, UI, dan Ohio University. Blog: www.timur-angin.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Jalan Sunyi Gede Pasek

11 Januari 2014   11:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:56 4839
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_315139" align="aligncenter" width="576" caption="Gede Pasek Suardika (foto: tempo.co)"][/caption]

DI tengah gemuruh politik nasional dan hiruk-pikuk di partai biru yang kering-kerontang, saya melihat satu embun kecemerlangan pada sosok Gede Pasek Suardika. Di saat sahabatnya dicaci dan dimaki banyak orang, ia tetap tenang dan menjawab cacian itu dengan argumentasi yang positif. Ia tetap menemani sahabatnya, bahkan di saat-saat paling sulit dalam kehidupannya. Ia beda dengan politisi lain yang biasanya menjadi 'penyanjung di saat jaya, dan pemaki di saat terpuruk'.

***

DI gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Gede Pasek Suardika datang mendampingi Anas Urbaningrum yang hendak diperiksa sebagai tersangka kasus Hambalang. Semua media langsung mengarahkan sorotan kamera ke rombongan kecil mereka. Gede Pasek tak menghindar. Ia tetap hadir dan jalan bersisian dengan Anas. Senyum tak pernah lepas dari bibir politisi asal Bali ini.

Entah, apakah ia tahu bahwa di tanah air, seorang terduga korupsi dianggap membawa penyakit yang bisa menjangkiti siapapun yang mendekatinya. Tidakkah ia khawatir kalau dirinya akan ikut dibuang dalam peta politik nasional sebagaimana para tertuduh lainnya? Tidakkah ia memikirkan posisinya sebagai anggota DPR RI dari sebuah partai yang tengah berkuasa? Mengapa pula ia tak menjauhi sahabatnya ketika dirinya telah dirotasi sampai empat kali di DPR RI?

Lelaki asal Singaraja itu memang tenang. Di saat semua orang meninggalkan Anas dan mencari jalan selamat dari posisi di partai ataupun parlemen, Pasek tetap tak beranjak. Ia tak hendak ikut jadi pencaci atau penghujat. Ia tetap memosisikan dirinya sebagai sosok yang tak akan pernah meninggalkan sahabatnya demi untuk mengejar titik nyaman. Demi sahabat itu, ia ikut menerima cacian serta hujatan, yang justru semakin membesarkan dirinya.

Saya belum pernah bertemu dengannya. Namun saya terkesima saat melihat dirinya pada dialog yang dipandu Karni Ilyas. Saat itu, ia belum lama di-lengserkan dari posisi Ketua Komisi III. Ketika beberapa politisi seperti Ruhut Sitompul menyanjung SBY dan menjelekkan Anas, ia tak mau ikut larut.  Saya menyaksikan bahwa beberapa kali ia seakan dipaksa untuk mmberikan komentar kasar kepada ketua partai yang melengserkannya. Ia tetap tidak mau melakukannya.

[caption id="attachment_315141" align="aligncenter" width="576" caption="Anas Urbaningrum dan Gede Pasek (foto: merdeka.com)"]

1389414412573622926
1389414412573622926
[/caption]

Ia hanya berkata singkat bahwa ia tak ingin masuk dalam dikotomi antara menyanjung dan membenci. "Bagi saya, SBY adalah guru, dan Anas adalah  sahabat. Posisi itu tak akan pernah berubah. Keduanya telah memberi warna bagi kehidupan saya. Sungguh tak adil jika disuruh memilih salah satu," katanya. Meskipun ia beberapa kali mengkritik SBY, ia melakukannya dalam konteks untuk pembenahan partai itu. Ia tak latah mengkritik dengan cara membabibuta sebagaimana dilakukan politisi karbitan lainnya.

Pasek memang sangat dekat dengan Anas. Ketika Anas menjadi ketua umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pasek menjabat sebagai ketua Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (KMHDI). Persahabatan mereka lalu berlanjut hingga parlemen, ketika Anas terpilih sebagai Ketua Fraksi Demokrat. Hingga akhirnya Anas mengundurkan diri, dan partai itu lalu menggelar konser luar biasa di Bali.

Ia memilih untuk tidak masuk arena kongres. Ia berjalan-jalan di sekitar Bali, lalu membeli patung wayang Sangkuni, sebagai simbol dari pilihan politiknya. Apakah ia tidak loyal pada partainya? Lelaki yang punya banyak pengalaman sebagai jurnalis ini punya pendapat sendiri. Bahwa loyalitas tidak diukur dari seberapa panjang lidah dalam menjilat seorang pengendali partai. Loyalitas harus diukur pada seberapa besar kontribusi bagi partai di daerah-daerah, seberapa besar pengaruh seseorang dalam menaikkan suara, bagaimana mengawal agenda strategis kerakyatan, serta bagaimana menjaga suara rakyat agar tidak redup di parlemen.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun