Mohon tunggu...
Yusran Darmawan
Yusran Darmawan Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Tinggal di Pulau Buton. Belajar di Unhas, UI, dan Ohio University. Blog: www.timur-angin.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Surat buat Tan Malaka

13 Februari 2014   07:40 Diperbarui: 21 Februari 2016   00:19 1680
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mereka yang menolakmu adalah mereka yang tak pernah membaca sejarah bangsa ini. Mereka hanya pernah mendengar, tanpa pernah menelusuri dengan baik tentang kiprahmu, kemudian belajar untuk mengapresiasi hal-hal baik yang kau wariskan. Mereka yang membencimu adalah mereka yang hidup dalam prasangka akibat propaganda. Mereka hanya membaca selebaran, atau mungkin hanya mendengar 'katanya-katanya,' tanpa menelaah dengan jernih dan hati yang terbuka tentang siapa sosokmu.

Namun aku tak ingin menyalahkan mereka. Sikap buta sejarah itu jelas dipengaruhi sejumlah patahan realitas sosial kita yang kemudian memberikan kontribusi pada ketidaktahuan atas siapa-siapa yang menjadi pendiri republik ini.

Generasi kami tidak diajarkan sejarah yang berimbang. Para sejarawan hari ini piawai berbicara di berbagai konferensi ilmiah, namun gagap ketika harus mengajarkan pengetahuannya kepada masyarakat banyak. Ada banyak buku tentang dirimu yang ditulis oleh sejarawan, baik di dalam dan luar negeri, namun buku-buku itu tidak juga bisa mencerahkan dan mencerdaskan publik luas. Di saat bersamaan, pemerintah juga abai dan tidak merasa penting untuk menyerap kearifan sejarah. Pantas saja jika kami hanya tahu tentang sosok Sukarno dan Hatta, tapi tidak tahu seberapa jauh kiprah mereka dalam republik ini.

Masyarakat hari ini juga adalah warisan masa Orde Baru telah mengalami doktrinasi untuk membenci mereka yang berideologi berbeda. Apakah kau pernah mendengar nama Orde Baru? Kuberi satu informasi. Bung Karno dijatuhkan oleh rezim ini. Kaum komunis menjadi tertuduh. Mereka, yang sesungguhnya bagian dari masyarakat kita, dibantai hingga jutaan orang. Selama 32 tahun, masyarakat telah mengalami proses 'cuci-otak' untuk membenci segala hal yang menyangkut komunisme, tanpa mempertanyakan dengan kritis apakah gerangan sesuatu yang dibenci itu.

Generasi kami telah didoktrin untuk selalu berpikir seragam, sehingga ketika ada yang berpikir berbeda maka harus disingkirkan. Perbedaan adalah sesuatu yang dihindari. Mereka yang berbeda adalah mereka yang harus disingkirkan, bahkan melalui jalan kekerasan sekalipun.

[caption id="attachment_322272" align="aligncenter" width="570" caption="infografis tentang perjalanan Tan Malaka (foto: tempo.co)"]

13922517371732908018
13922517371732908018
[/caption]

Bung, anehnya, negara yang kuat, sebagaimana kau bayangkan dulu, hanyalah ilusi. Negara justtru hanya diam saja ketika banyak oknum yang mengatasnamakan agama, lalu bertindak semaunya. Negara diam saja ketika ada yang menebar teror atas nama masyarakat. Padahal, teror itu tak pernah dilandasi satu bacaan yang jernih atas aa yang terjadi. Teror itu bermula dari kepicikan, yang kemudian mengejawantah menjadi gerakan yang serba picik.

Inilah zaman kami, zaman yang dipenuh para algojo kebenaran. Ada banyak orang yang merasa sedang membawa misi untuk menegakkan kebenaran, dan menyingkirkan mereka yang sesat. Mereka lalu menampikmu. Mereka tak menerima warisanmu untuk selalu bersikap kritis, membuka pikiran pada hal baru, serta menanam kuat-kuat rasa cinta tanah air yang lalu menjadi pijakan untuk meloncat tinggi di lngit-laangit peradaban.

Bung Tan Malaka. Tenanglah kau berbaring di alam sana. Kau telah meninggalkan negeri dan tanah ini sejak tahun 1949. Jika kelak kau bertemu Bung Karno, sampaikanlah padanya tentang nasib negeri yang diperjuangan selama puluhan tahun, diperjuangkan dari penjara ke penjara. Apakah kalian akan sama bersedih? Ataukah kalian akan sama-sama terpekur dan berbisik bahwa inilah takdir generasi kami?

Kisahkan padaku.

BACA JUGA:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun