[caption id="attachment_355826" align="aligncenter" width="576" caption="pangan lokal di Kupang"][/caption]
ANDA penggemar ayam goreng ala McDonald dan KFC dan berbagai makanan siap saji dari luar negeri? Beberapa waktu lalu, di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), anak-anak muda justru menggelar kampanye antimakanan impor seperti KFC dan McD. Mereka menggalakkan gerakan kembali ke pangan lokal seperti ubi dan jagung. Tak disangka, keresahan mereka adalah potret keresahan warga dunia atas ancaman terbesar di masa mendatang, yakni ancaman kerawanan pangan.
***
DI dekat Biara Souverdi di Oebofu, Kupang, anak-anak muda itu sedang menyiapkan beberapa bibit tanaman. Mereka menanam bibit itu dalam batang pisang yang diletakkan secara melintang. Setelah menanam, mereka lalu menemui seorang tamu yang datang. Mereka berbagi bibit tanaman lokal seperti jejawud serta sorgum, dua tanaman khas Nusa Tenggata Timur (NTT).
Ketika kutemui dua bulan silam, anak-anak muda yang tergabung dalam Geng Motor Imut itu bercerita tentang kian langkanya pangan lokal, serta semakin tergantungnya warga Kupang pada berbagai pangan yang datang dari luar. Mereka juga berbicara tentang beberapa isu strategis seperti kemiskinan, serta keterbelakangan, juga kelaparan yang semakin mewabah ketika ketergantungan semakin meningkat. "Kita kehilangan kekuatan utama kita yakni pangan lokal. Kita mengabaikan kemurahan alam serta kebaikan bumi yang melimpahi kita dengan sumber makanan," kata salah seorang dari mereka.
Anak muda itu membuatku tersentak. Di usia semuda itu, mereka bisa berbicara tentang hal-hal substansial. Mereka memang unik. Mereka sangat berbeda dengan beberapa remaja yang kutemui di Taman Nostalgia, Kupang, beberapa waktu lalu. Beberapa remaja itu justru tersenyum-senyum serta saling melirik ketika kuminta menyebutkan makanan lokal. Bahkan mereka tertawa cekikikan ketika menyebut ubi, jagung, pisang, ubi kayu, hingga berbagai jenis kacang tanah. Mereka merasa minder dengan pangan yang tadi disebutnya.
Pangan lokal memang semakin terpinggirkan di mana-mana. Di Kupang, pangan lokal mulai terabaikan oleh deru kota yang kian berderap dan menjadi modern. Saat kutanyakan pada beberapa penduduk, mereka justru tak tahu apa itu sorgum. Padahal tanaman itu dengan mudahnya ditemukan di mana-mana. Buahnya sejenis padi, yang lebih banyak dimakan oleh burung. Aku teringat sahabat Maria Loretha di Adonara yang tekun berkampanye agar warga kembali mengonsumsi sorgum dan tidak menunggu-nunggu beras dari pulau Jawa. (baca informasinya DI SINI).
[caption id="attachment_355827" align="aligncenter" width="576" caption="kampanye pangan lokal"]
[caption id="attachment_355829" align="aligncenter" width="576" caption="peserta kampanye"]
Padahal, tanpa kecintaan pada pangan lokal, mustahil kita berdiskusi tentang ketahanan dan kedaulatan pangan. Logikanya, tak mungkin orang Kupang dipaksa membudidayakan sesuatu yang justru berjarak dengan kultur dan geografis wilayahnya. Tak adil jika orang Kupang diwajibkan makan beras, padahal wilayah itu tak cocok menjadi areal pertanian. Melihat tanah tandus dan berbatu di situ, aku berpikir bahwa sejak dahulu, ladang telah lama menjadi sandaran masyarakat untuk menggantungkan hidup. Seharusnya, ladang kembali difungsikan, demi menjadi sumber pangan bagi warga.
Sayangnya, potret yang kusaksikan di Kupang adalah keinginan kuat untuk segera memasuki gerbang modernisasi. Kapitalisme mulai menari-nari di kota itu. Baru masuk Bandara El tari, aku menyaksikan banyak restoran fast-food, serta jajanan yang tidak sehat. Sebagaimana generasi lain di berbagai kota, warga Kupang sedang gandrung-gandrungnya dengan makanan impor. Warga itu tak menyadari bahwa di negeri-negeri Barat yang dianggapnya hebat itu, pangan lokal yang dimakannya begitu bernilai, sedangkan fast-food yang dianggapya hebat itu justru sumber penyakit yang mendera masyarakat di belahan bumi sana.
Barangkali, pangkal masalahnya terletak pada citraan tentang apa yang dianggap hebat dan tidak hebat. Demi citraan hebat serta anggapan lebih beradab itu, orang-orang melakukan banyak hal yang seringkali justru mengabaikan khasanah yang dimilikinya. Beras dianggap sebagai pangan kelas atas dan berpunya. Pemerintah pusat menganjurkan masyarakat setempat untuk mengonsumsi beras. Bahkan, pemberian jatah pangan bagi para pegawai negeri sipil (PNS) juga berwujud beras, sementara kita sama tahu bahwa PNS dianggap sebagai lapis sosial tinggi di masyarakat. Ketika PNS diminta mengonsumsi beras, maka beras dianggap memiliki citraan yang tinggi sebab identik dengan gaya hidup kelas berpunya.
Walhasil, masyarakat bekerja untuk bisa membeli beras, bukan lagi jagung atau umbi-umbian. Bahkan pangan lokal sudah tidak dibudidayakan lagi di kebun-kebun petani. Kebijakan pemerintah yang menyalurkan jatah beras miskin (raskin) semakin memperparah kondisi ini. Tiap saat warga ramai-ramai mengantre pembagian beras itu. Mereka lupa bahwa masih ada lahan yang bisa ditanami jagung atau umbi-umbian. Beras apa pun jenis dan kualitasnya telah menjadi indikator kemakmuran. Sementara itu, generasi sekarang telah memandang rendah terhadap produk pangan lokal yang dijual di pasar-pasar tradisional.
Namun beberapa anak muda kreatif di Geng Motor Imut itu mengingatkanku pada kekhawatiran tentang dunia di masa mendatang. Sebelum tahun 2050 mendatang, jumlah populasi dunia yang membutuhkan pangan akan bertambah dua miliar. Bahkan di negara maju sekalipun, krisis pangan mulai terjadi akibat tidak seimbangnya antara produksi makanan, serta laju konsumsi yang semakin lama semakin cepat.
Anak-anak muda itu percaya bahwa krisis pangan bisa dihindari ketika muncul gerakan bersama untuk mengembalikan pangan lokal sebagai menu utama di meja makan. Pangan lokal harus digalakkan kembali demi kehidupan yang lebih sehat dan lebih segar. Mengonsumsi pangan lokal juga sama dengan menguatkan para peladang, petani setempat, serta pedagang lokal yang justru menjadi urat nadi dari distribusi pangan lokal.
***
HARI itu, sebuah kampanye pangan lokal digelar di Taman Nostalgia. Penyelenggaranya adalah Oxfam International bersama sejumlah komunitas reatif di Kupang. Aku menyaksikan pangan lokal dikemas secara menarik dan dihidangkan kepada semua orang yang hadir. Beberapa mahasiswa membawa poster-poster yang isinya adalah ajakan untuk mencintai pangan lokal.
[caption id="attachment_355831" align="aligncenter" width="576" caption="peserta kampanye"]
Aku teringat pada artikel pada majalah National Geographic terbaru. Melalui riset yang dilakukan para antropolog dan ahli gizi, terungkap fakta menarik bahwa bahan makanan yang dimakan manusia purba adalah makanan yang jauh lebih sehat ketimbang yang dikonsumsi manusia modern hari ini. Mengapa? Sebab manusia purba lebih banyak makan daging mentah, tidak memakan bahan yang sudah dimasak, ataupun digoreng. Para ahli dengan mudahnya memperkirakan bahwa pada masa lalu tak ada penyakit jantung, diabetes, serta kanker yang membunuh sebagian besar manusia hari ini. Dahulu, orang-orang hidup selaras dan alami bersama semesta.
Tak perlu jauh bertandang ke masa silam. Silakan bandingkan daya tahan tubuh kakek dan nenek kita yang hidup di desa-desa. Mereka jauh lebih sehat dan lebih kuat. Dua orang nenekku hidup hingga mencapai usia 120 tahun. Mereka tak banyak menyimpan rahasia. Mereka hanya makan seperlunya yang ada di alam, tanpa banyak diolah, serta senantiasa bekerja keras. Sayang, rahasia sederhana yang diterapkan nenek moyang itu susah diterapkan di masa kini. Sebabnya sederhana. kita terlampau gengsi untuk kembali ke pangan lokal. Hiks.
BACA JUGA:
Baywatch Seksi di Pulau Lombok
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H