Barangkali, pangkal masalahnya terletak pada citraan tentang apa yang dianggap hebat dan tidak hebat. Demi citraan hebat serta anggapan lebih beradab itu, orang-orang melakukan banyak hal yang seringkali justru mengabaikan khasanah yang dimilikinya. Beras dianggap sebagai pangan kelas atas dan berpunya. Pemerintah pusat menganjurkan masyarakat setempat untuk mengonsumsi beras. Bahkan, pemberian jatah pangan bagi para pegawai negeri sipil (PNS) juga berwujud beras, sementara kita sama tahu bahwa PNS dianggap sebagai lapis sosial tinggi di masyarakat. Ketika PNS diminta mengonsumsi beras, maka beras dianggap memiliki citraan yang tinggi sebab identik dengan gaya hidup kelas berpunya.
Walhasil, masyarakat bekerja untuk bisa membeli beras, bukan lagi jagung atau umbi-umbian. Bahkan pangan lokal sudah tidak dibudidayakan lagi di kebun-kebun petani. Kebijakan pemerintah yang menyalurkan jatah beras miskin (raskin) semakin memperparah kondisi ini. Tiap saat warga ramai-ramai mengantre pembagian beras itu. Mereka lupa bahwa masih ada lahan yang bisa ditanami jagung atau umbi-umbian. Beras apa pun jenis dan kualitasnya telah menjadi indikator kemakmuran. Sementara itu, generasi sekarang telah memandang rendah terhadap produk pangan lokal yang dijual di pasar-pasar tradisional.
Namun beberapa anak muda kreatif di Geng Motor Imut itu mengingatkanku pada kekhawatiran tentang dunia di masa mendatang. Sebelum tahun 2050 mendatang, jumlah populasi dunia yang membutuhkan pangan akan bertambah dua miliar. Bahkan di negara maju sekalipun, krisis pangan mulai terjadi akibat tidak seimbangnya antara produksi makanan, serta laju konsumsi yang semakin lama semakin cepat.
Anak-anak muda itu percaya bahwa krisis pangan bisa dihindari ketika muncul gerakan bersama untuk mengembalikan pangan lokal sebagai menu utama di meja makan. Pangan lokal harus digalakkan kembali demi kehidupan yang lebih sehat dan lebih segar. Mengonsumsi pangan lokal juga sama dengan menguatkan para peladang, petani setempat, serta pedagang lokal yang justru menjadi urat nadi dari distribusi pangan lokal.
***
HARI itu, sebuah kampanye pangan lokal digelar di Taman Nostalgia. Penyelenggaranya adalah Oxfam International bersama sejumlah komunitas reatif di Kupang. Aku menyaksikan pangan lokal dikemas secara menarik dan dihidangkan kepada semua orang yang hadir. Beberapa mahasiswa membawa poster-poster yang isinya adalah ajakan untuk mencintai pangan lokal.
[caption id="attachment_355831" align="aligncenter" width="576" caption="peserta kampanye"]
Aku teringat pada artikel pada majalah National Geographic terbaru. Melalui riset yang dilakukan para antropolog dan ahli gizi, terungkap fakta menarik bahwa bahan makanan yang dimakan manusia purba adalah makanan yang jauh lebih sehat ketimbang yang dikonsumsi manusia modern hari ini. Mengapa? Sebab manusia purba lebih banyak makan daging mentah, tidak memakan bahan yang sudah dimasak, ataupun digoreng. Para ahli dengan mudahnya memperkirakan bahwa pada masa lalu tak ada penyakit jantung, diabetes, serta kanker yang membunuh sebagian besar manusia hari ini. Dahulu, orang-orang hidup selaras dan alami bersama semesta.
Tak perlu jauh bertandang ke masa silam. Silakan bandingkan daya tahan tubuh kakek dan nenek kita yang hidup di desa-desa. Mereka jauh lebih sehat dan lebih kuat. Dua orang nenekku hidup hingga mencapai usia 120 tahun. Mereka tak banyak menyimpan rahasia. Mereka hanya makan seperlunya yang ada di alam, tanpa banyak diolah, serta senantiasa bekerja keras. Sayang, rahasia sederhana yang diterapkan nenek moyang itu susah diterapkan di masa kini. Sebabnya sederhana. kita terlampau gengsi untuk kembali ke pangan lokal. Hiks.
BACA JUGA:
Baywatch Seksi di Pulau Lombok