[caption id="attachment_365326" align="aligncenter" width="640" caption="sampul buku Self Driving karya Rhenald Kasali"][/caption]
LELAKI itu bernama Derek Redmon. Di arena Olimpiade, namanya harum semerbak, padahal, ia bukanlah seorang juara yang memenangkan medali. Di ajang Olimpiade Barcelona, tahun 1992, ia mengikuti lomba lari 100 meter. Sungguh malang, kakinya robek sehingga kesakitan dan tak mampu berlari. Tapi ia tetap ngotot untuk berlari, meskipun dengan risiko menahan segala rasa sakit.
Bahkan ia juga mengabaikan saran pelatih, yang merupakan ayahnya sendiri, untuk keluar arena. Baginya, sekali bertanding, ia harus mencapai garis finish. Hasil akhir tak penting. Yang penting adalah menyelesaikan pertandingan, mengakui kekalahan itu dengan jujur, lalu mengapresiasi pemenang. Ia memang kalah. Tapi seluruh publik di stadion yang menyaksikan pertandingan itu serentak berdiri dan memberikan standing applause.
Ia memang tak juara, tapi ia telah menunjukkan karakter juara, yakni mereka yang berusaha menggapai garis akhir, lalu mengucapkan selamat kepada pemenangnya. Para juara adalah mereka yang mengakui kekalahan lalu menyerap semangat itu di setiap ladang kehidupan.
Kisah Derek Redmon ini saya temukan dalam buku bagus bertajuk Self Driving, Menjadi Driver atau Passenger yang ditulis Prof Rhenald Kasali. Buku ini ditulis seorang profesor manajemen, namun kalimat-kalimat dalam buku justru amat sederhana dan memikat. Penulisnya tidak sedang membahas konsep-konsep dan teori yang sering memusingkan kepala serta berarak dengan realitas. Ia justru membumikan pengetahuannya dengan mengambil contoh dari kejadian-kejadian sederhana di sekitar.
Rhenald Kasali percaya bahwa jika kehidupan adalah arena di mana setiap orang menumbuhkan karakter, maka selalu saja ada karakter pemenang dan karakter pecundang. Mereka yang pecundang adalah mereka yang mudah mengeluh, suka menghambat dan menyalahkan orang lain, lalu memelihara dendam kesumat. Sementara mereka yang menang adalah mereka yang selalu menginspirasi, menentukan arah, dan menggerakkan orang lain.
Rhenald berkisah tentang mereka yang kerap dikalahkan oleh situasi. Misalnya kisah tentang seorang alumnus program pasca-sarjana Universitas Indonesia (UI) yang ingin bunuh diri karena gagal mendapatkan pekerjaan. Ketimbang menyalahkan pemuda itu, Rhenald justru problemnya terletak pada ketidakmampuan untuk mengenali celah-celah peluang yang bisa melejitkan keunggulan. Pendidikan kita gagal mengarahkan seseorang untuk menemukan potensi seseorang untuk kemudian dilejitkan sebagai kekuatan. Pendidikan kita hanya fokus pada bagaimana seseorang menjadi sukses, yang tolok ukurnya adalah kekayaan semata.
Pendidikan kita tak banyak menyemai karakter pemenang dalam jiwa anak-anak. Mereka yang menang bukanlah mereka yang juara, melainkan mereka yang mengakui kekalahan, namun memiliki ketabahan dan determinasi untuk terus belajar dari setiap kekalahan itu. Mereka yang menang tak mudah berhenti dan menyalahkan orang lain. Para pemenang memiliki karakter kuat untuk terus maju demi menggapai visi kuat yang ditanamkan sejak awal.
Saya amat menikmati kisah tentang mereka berkarakter kuat dalam buku ini. Mulai dari Theodore Roosevelt yang sakit-sakitan di masa kecil, namun justru mengasah dirinya hingga jadi presiden hebat dalam sejarah Amerika. Kisah tentang manusia bervisi kuat dan berkarakter pemenang yakni Soekarno, Ahmad Dahlan, Sam Ratulangie, ataupun Gus Dur yang kemudian mengubah sejarah bangsa. Saya juga terharu membaca cerita tentang Sugeng, si pembuat kaki palsu, serta Sano Ami yang tak memiliki tangan dan kaki, namun sukses menjadi orang hebat.
Buku ini membuka mata saya untuk lebih jernih melihat banyak hal menarik di sekitar. Sejatinya, karakter kuat bisa ditanamkan dan diasah melalui berbagai refleksi dan pelatihan. Makanya, buku ini harus dilihat sebagai kritik diri yang sangat bagus agar seseorang memahami posisi berpijaknya, serta tahu apa yang harus dilakukan untuk mengubah dirinya menjadi seorang pemenang.
Namun, semuanya berpulang kepada individu. Sebab pengalaman mengajarkan saya bahwa seringkali orang-orang merasa lebih nyaman berada di comfort zone. Tak banyak orang yang mau berjibaku untuk memasuki ruang sosial baru, beradaptasi, dan membuat prestasi. Ketika seseorang merasa cukup dan nyaman, maka jangan berharap akan ada perubahan. Yang dipikirkan hanyalah kenyamanan dan bagaimana menjaga status quo.