Mohon tunggu...
Yusnia Agus Saputri
Yusnia Agus Saputri Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Mom Blogger | Sarjana Pendidikan

Writer | Blogger | Traveller | Freelance Editor | Bianglala Hijrah | Awife and #youngmommy | Kelahiran Riau, 7 Agustus. Wanita berdarah Bugis yang memiliki banyak mimpi tentang berbagi. Saat ini menetap di Magelang, Jawa Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Untukmu Ibu] Ibu, Segalanya Tentangmu yang Tak Habis dalam Kata

22 Desember 2013   07:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:38 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

No. Peserta : 349. Yusnia Agus Saputri

Beberapa tahun yang lalu kita pernah tertatih bersama saat luka menjerat kita. Menangis bersama saat kesedihan menyapa. Juga tertawa seirama dalam nada bahagia. Kau tak pernah mengeluh lelah di hadapan anak-anakmu, meski kerut dan peluh yang ada pada garis wajahmu menandakan semuanya. Kau ingat, Bu? Sewaktu aku masih duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah. Malam itu, aku terjaga demi mimpi-mimpiku untuk menjadi seorang penulis. Karena tak memiliki sarana menulis yang memadai, aku hanya dapat menampung semua tulisanku di atas lembar-lembar buku yang aku tulis. Tepat pukul dua belas tengah malam, kau berjalan mendekatiku dan bertanya mengapa aku belum juga tidur. Aku bilang, sebentar lagi. Padahal aku sama sekali tak mengantuk. Kau memperhatikan keseriusanku dalam menulis, dalam diam kau mendukung mimpi-mimpiku lewat untaian doa yang tak lelah kau lafadzkan dalam sujud shalatmu. Bahkan setelah beberapa tahun kemudian, aku baru tahu bahwa kau kerap membaca keluh kesahku di buku diary, membaca untaian makna yang ada di dalam tulisanku.

Malam itu kau membelai rambutku dengan lembut.

“Mau jadi penulis ya, Nak?” tanyamu.

Aku mengangguk menatapmu yang tersenyum dengan mata berkaca. Aku tahu, kau mengamini dalam hati. Kau senantiasa berdoa untukku. Untuk hidup dan kesuksesanku di masa depan.

Bu, sungguh mulia hatimu. Hanya aku yang tahu perjalanan dan kisah sedih hidupmu yang tiada satu pun di antara mereka yang tahu atau ingin tahu. Aku tahu semua tangis dan bahagia yang pernah kau lalui lewat ceritamu. Terkadang kau begitu bersemangat menceritakan pengalaman hidupmu, terkadang pula mendung bergelayut manja pada raut wajahmu, hingga rinai itu mengalir lembut menyusuri tiap-tiap lekuk wajahmu yang tetap cantik meski usia mulai menuakan ragamu.

Bu, saat waktu menyulam kebersamaan kita dengan begitu dekat. Aku sangat jarang bahkan mungkin tak pernah mengucapkan ‘I Miss You, Mom’ atau ‘Mom, I Love You’ padamu. Bahkan saat perayaan hari ibu aku diam seolah tak tahu. Sebenarnya aku ingin mengutarakan puisi hatiku untuk dapat menggambarkan betapa penting dan berharganya kau di dalam hidupku. Aku malu, Bu. Lidahku kelu saat ingin mengucapkan kalimat sayang tersebut. Tetapi kini, saat aku telah jauh darimu, aku baru berani mengutarakan kalimat sayang itu. Bahkan terkadang, kau sendiri yang mengucapkannya. ‘Mamak sayang kamu, adik-adikmu, kalian semua permata hati Mamak’ ucapmu. Mom, you’re my everything. In my heart, in my life. Yang takkan terganti dengan sosok ibu manapun. Bagiku kau adalah yang terbaik. Ibu yang terbaik untuk kami anak-anakmu. Hanya mungkin takdir yang telah memisahkan kita dengan jarak yang jauh, dalam kerinduan yang tak bertepi di hati. Dengan cara yang tak satu pun dari kita menginginkan semua itu terjadi.

Bu, aku pernah marah padamu saat tahu kau dan Bapak memutuskan untuk berpisah. Aku merasa kalian begitu egois. Aku menganggap kalian tak lagi peduli pada kami, anak-anakmu. Aku benci pada Ibu dan Bapak yang tega meninggalkan kami saat kami masih sangat membutuhkan kehadiran kalian. Aku rapuh saat tak ada satu pun yang mau mengerti keadaanku, perjuanganku bersama adik-adik yang hidup di tengah-tengah keluarga yang mengedepankan kekerasan juga amarah. Aku benci karena kalian meninggalkan kami dengan keadaan yang sangat memilukan. Aku benci, Bu. Bahkan aku pernah merasa tak ingin lagi bertemu denganmu. Tetapi setelah waktu berlalu, aku dan adik-adik mulai mengerti. Kami berpencar demi mimpi kami masing-masing. Berjuang di tanah orang lain demi mengejar satu impian dan kehidupan yang lebih layak dengan pengalaman yang menjadi pedoman agar tak jatuh di kesedihan yang sama.

Perlahan aku mulai belajar, bahwa di balik semua hal yang telah menimpa keluarga kita ada kehendak dan tangan yang telah mengaturnya. Kita tak bisa menolak takdir yang berlaku atas kehendak Allah. Kesedihan yang tadinya begitu kubenci, pada akhirnya mengajariku untuk bisa dewasa dalam banyak hal. Termasuk menggantikan posisi kalian sebagai Ibu sekaligus Bapak untuk adik-adikku. Ah, takkan habis cerita yang sanggup kuurai tentang kami setelah kepergian kalian. Bu, setidaknya aku bersyukur. Kesedihan itu menamparku bertubi-tubi, hingga aku sadar dan dapat mengerti. Bangkit, tertatih dalam langkah untuk bisa berdiri di atas kakiku sendiri. Mungkin karena itu, sejak dulu Allah menyisipkan begitu banyak mimpi di jiwaku. Barangkali karena semua hal ini akan kualami, dan lewat kejadian inilah semua ibrah kemudian menuntunku untuk meraih satu-satu mimpi yang tergantung di langit-langit semangatku.

Aku tak menyesal, Bu. Karena aku sudah mengerti. Aku tahu kalian juga menyesali dan tak menginginkan semua itu terjadi. Aku tahu, Bu. Kau juga kerap menangis menahan kerinduan pada anak-anakmu. Atau saat pelukmu tak lagi dapat merengkuh kami. Jangan sedih, Bu. Ada saatnya, suatu hari nanti. Kita akan berkumpul di naungan yang sama. Kami akan berada di pelukmu, dan menghadiahimu keberhasilan yang dulu pernah kami eja di depanmu. Bu, meski harus kepedihan dan penderitaan yang mendidik kami dan mengiringi langkah kami untuk menuju cita-cita, saat ini, tak ada penyesalan yang ada kecuali rasa syukur. Sebab jika semua itu tak pernah terjadi, barangkali aku takkan meraih mimpi-mimpiku dalam waktu secepat ini. Mungkin aku hanya akan tetap terlena pada kenyamanan dan tak berpikir cepat untuk menemukan jalan yang sesungguhnya demi menuju gerbang mimpi-mimpiku.

Bu, ada banyak kisah yang telah tertoreh tentang kita. Ia masih berupa kemasan yang tak mungkin pernah kusam dalam bentuk pita kenangan dalam memori kita masing-masing. Kenangan yang membekas di hati maupun di jiwa. Kenangan yang takkan pernah terlupakan. Bu, aku ingin kau tahu bahwa aku sangat mencintaimu. Kau segalanya untukku. Sayangku takkan pernah habis untukmu. Semua hal yang ingin kuraih semata-mata untuk membuatmu merasa bangga dan bahagia pernah melahirkanku. Karena memiliki putri sepertiku. Aku tak ingin membuatmu bersedih, aku ingin membuatmu bahagia dengan caraku sendiri. Sepertimu yang senantiasa mendoakanku kapanpun dan di manapun, inilah persembahan terindah yang akan kuberikan untukmu. Lihatlah, Bu… Banggalah karena anak-anakmu senantiasa berjuang demi melihat senyum yang menyabit di wajahmu. Tangis yang mengalir atas ungkapan syukur dan rasa bahagia. Serta menyatukan kembali puing-puing bahagia yang pernah hilang dan terpecah.

Bu, aku masih menyimpan semangat dan keinginanmu dulu agar aku menempuh pendidikanku hingga ke jenjang yang lebih tinggi. Saat ini aku tengah berusaha mewujudkan harapanmu tersebut. Beberapa tahun lagi kau akan melihatku berdiri di podium kebanggaan dengan mengenakan toga. Sebentar lagi, Bu. Akan kulengkapi rasa bahagiamu dengan kado istimewa dariku. Kado yang mungkin tetap takkan bisa membalas jasa-jasamu. Terima kasih untuk doa-doamu, Bu. Aku tahu, dalam jauh kau tetap memberikan kontribusimu selaku orangtua dalam wujud doa. Doa untukku, adik-adik. Doa untuk kesuksesan dan kebahagiaan kami. Terima kasih, Bu. Terima kasih untuk semua kenangan yang tak pernah lekang di hati kami. Terima kasih untuk segala hal yang tak mampu diucapkan lewat kata. Tetapi hati kita tahu, kita sama-sama tahu, dalam jarak yang telah memisahkan raga, kita sama-sama memendam kerinduan yang tak pernah hilang. Kerinduan untuk bisa menatap senyum masing-masing. Bagaimana wajahmu saat ini, Bu? Masihkah sekencang dulu, atau mungkin perlahan kerutan itu mulai membingkai senyum indahmu. Tak apa, Bu. Bagiku kau tetap yang tercantik.

Bu, dengarlah senandung hatiku untukmu;

Belaian kasihmu, sentuhan tanganmu, tak ada yang dapat menggantikan itu

Kau curahkan cinta dan kasih sayangmu tak berbatas waktu

Di setiap hadirmu kau bimbing langkahku dan tuntun aku tuk raih segala mimpi

Kau pelita hati yang selalu terangi setiap sisi hidupku

Tetes keringat jadi saksi

Air mata pun menghiasi

Senyum tawa hadir saat kau membesarkanku

Cinta suci yang kau curahkan sungguh tak dapat terbalaskan

Terima kasihku atas segala cintamu. Duhai Ibu

Mom, I Love You. I Miss You…

Bahagialah dengan kesederhanaan cinta ini.

***


Untuk membaca karya peserta lain silahkan kunjungi akun
http://www.kompasiana.com/androgini


Untuk berbagi kreativitas dengan member lain, silahkan gabung dalam grup FB yang seru dan penuh dengan kekeluargaan di
http://www.facebook.com/groups/175201439229892/

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun