Mohon tunggu...
Yusmar Yusuf
Yusmar Yusuf Mohon Tunggu... Dosen - Budayawan

Guru Besar Kajian Melayu

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Maka, (Bagan) Menulislah!

22 April 2012   14:15 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:16 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di sebidang simpang empat, sebelah kiri dari arah laut menuju kelenteng tua, sekumpulan huruf bergaya vertikal. Garis tiangnya menikam langit, menunjuk Yang Tinggi, bertatah (sepuh) emas, dipersaksikan Sang Thian. Garis tua Jalan Perdagangan kota muara Bagan Siapi-api itu menyandarkan bahasa manusia dalam goresan kanji tua demi sebuah perjanjian dan damai. Menyinggahi Bagan, singgahilah tradisi tulis yang menjadi bagian dari seni instalasi kota itu. Orang Cina mengukir kota ini dengan kekayaan bahasa tulis.

Dari sajak “Tanah Kelahiran”, Ediruslan Pe Amanriza menulis liris tentang “Bom Bagan” - Tiang Pelabuhan tua era Belanda yang hanya menyisa beberapa tiang, tiada 44 anak tangga lagi. Dan ketika orang menyapa kota ini dan ingin menyigi puisi Ediruslan, kita tak menemukan tapak bekas Bom Bagan itu yang dulu menghadap ke laut lepas. Kini, bekas Bom Bagan itu dikandang oleh setumpuk seng tua, di celah-celah masjid kecil dan rumah penduduk yang semak. Tiang Bom ini dengan penanda sejumlah kecil besi tua berkarat, telah berjarak sejauh tiga Km dari bibir tebing muara yang berdepan dengan pulau Berkey.

Cina menulis dalam ruang imajinasi bergaya instalatif, sementara Ediruslan menulis dalam ruang antologi, sekumpulan sajak-sajak, yang diikat oleh sekeping buku. Cina menulis di atas tanah dan tegak di atas persimpangan ramai nan gagah, Ediruslan menulis dalam helai kertas senyap dan sempit. Tulisan kanji Cina itu bergaya vertikal, tulisan Ediruslan berlanggam horizontal. Kanji Cina itu tak lain sebuah perjanjian dengan setan. Sebuah monumen tentang kesepakatan dari hasil sebuah gaduh, hiruk-pikuk dan perkelahian di antara bangsa jin dan bangsa manusia yang menghuni kota estuari itu. Ini sebuah karya instalasi dalam wujud tulisan. Sebaliknya, puisi-puisi Ediruslan bertolak dari sebuah pengaduan mengenai kehilangan demi kehilangan. Sebuah kenangan yang singgah dan menjadi milik masa lalu, yang tak mungkin dihadirkan dalam kekinian. Namun, kedua jenis tulisan ini, ingin mengabarkan bahwa tulisan adalah wujud dari bahasa yang maksimal.

Jacques Derrida, yakin dengan maksimalitas bahasa tulis itu sebagai wujud ketinggian hermeneutik manusia. Tulisan adalah bahasa yang maksimal. Bahasa manusia sesungguhnya bersumber dari teks atau tulisan. Bukan ujaran. Ujaran itu bersifat liar, ambigu, multitafsir, tersebab bunyi yang sama; shell, sell, cell, seal untuk kasus bunyi yang sama dalam bahasa Inggeris. Bèla dan bela dalam bahasa Melayu (bèla pertama bermakna; merawat, mengasuh, sedangkan bela yang kedua bermakna; mendukung, menjadi pembela, menjadi penyokong sebuah keyakinan atau sebuah nilai perjuangan). Dan dalam bahasa Melayu selalu menyaji bunyi yang mirip dan sama: temu dan tembung, yang kemudian menjadi pertemuan dan pertembungan; yang memiliki makna yang berlawanan.

Bagi Derrida, sebagai seorang fenomenolog yang mengedepankan kekuatan dekonstruksi itu, yakin bahwa tulisan tidak hanya terdapat dalam fikiran manusia, tetapi juga konkrit di atas halaman. Ketika dibaca oleh manusia, tulisan langsung terbuka untuk difahami oleh pembacanya. Manusia sejalan dengan capaian peradaban dan pendidikannya, sering terperangkap dengan fonosentrisme; lebih menomor-duakan tulisan dan berpangku pada tahta ujaran atau ucapan. Sementara setiap ujaran atau ucapan selalu menyajikan perangkap melalui kesamaan bunyi dan kedekatan fonem. Walhasil manusia tersesat di dalam sumbu yang berputar-putar dalam kesamaan bunyi dan fonem.

Bagi Derrida, bahasa dan teks termasuk sistem yang hidup. Dia ikut mengatur kehidupan manusia. Dia menjadi sistem dan mempengaruhi perilaku, persepsi, tindakan dan perbuatan manusia di masa lalu dan kini untuk diproyeksi menjadi etika masa depan. Edmund Husserl sebagai bapa fenomenologi dan berpengaruh kuat pada Derrida, menunjukkan dua gejala bahasa manusia; (1). Bahasa ekspresif yang terdiri atas sejumlah kode yang memuat maksud pribadi, sebuah bahasa yang berpangkal dari akal budi dan mata fikir kolektif. Sebuah hayatan nilai ketidak-sadaran arkhaik secara kolektif. Sebaliknya, (2). Bahasa indikatif; yang tidak memuat kode maksud pribadi, akan tetapi hanya menunjuk pada sesuatu. Pepatah tua, bidal termasuk dalam bahasa ekspresif yang diuli oleh sebuah kesadaran kolektif masa lalu, sekaligus menjadi alat penyelamat hidup manusia kala itu: “Bulat air dek pembetung, bulat kata dek muafakat”. Di sini bahasa tidak bermaksud menunjuk pada sesuatu (air), akan tetapi menunjukkan sejumlah kode mengenai kekuatan air dan kata, untuk membangun kebersamaan sebagai cikal bakal kehidupan kolektif dinamis. “Hati-hati di jalan yang berkelok dan terjal”, ini termasuk bahasa indikatif, yang hanya menunjuk pada sesuatu. Rambu-rambu jalan, termasuk bahasa indikatif.

Cina menulis, Ediruslan pun menulis di atas fenomena Bagan. Keduanya bersangkar pada bidang ‘kertas’ bernama Bagan. Kota muara ini sebagai gambaran ruang kosmopolitanisme; semua orang bisa bersua dan segala makhluk pun bertemu sekaligus bertembung pada ruang dan ingatan yang satu. Dua jenis tulisan yang tertera itu, bisa disiasati sebagai kemuncak bahasa yang paling maksimal di antara dua keadaan (tulisan vertikal di sebatang tiang prasasti, dan tulisan horizontal di sebidang kertas).

Keduanya memuat kenyataan ekspresif sekaligus indikatif mengenai ruang dan memori. Bahwa dalam setiap memori, selalu menghadirkan ruang. Dan sebaliknya, pada setiap ruang, akan terkumpul sejumlah memori. Datang ke Bagan, jangan datang sebagai pelancong ruang hampa, bukan datang sebagai penyinggah lelah. Tetapi di sini terhidang sejumlah aksara dan tulisan yang tak mungkin menyesatkan kekinian yang menjadi milik kita. Malah kita menjadi sesat ketika, tulisan Bom Bagan itu, terlepas dari situs asalnya. Dia tak menjadi suatu inskripsi di sisi pagar seng tua berkarat, namun dia berada pada semak samun kumpulan antologi sajak-sajak Ediruslan yang mesti kita bongkar dengan sabar di rak-rak tua, yang tak begitu akrab dengan kemajuan gadget masa kini. Maka, Bagan… Menulislah…!!! ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun