Mereka menjemput Islam dengan perang. Berpacu dalam ‘jelaga dan debu’ perkasa. Mereka membelah debu dalam kecepatan sentak pelana kuda. Debu terburai, mengurai dan lopak-lopak air pun terkuak. Menembus dingin padang gurun, lalu menusuk jantung peradaban Islam di Baghdad. Perpustakaan dibakar dan rata dengan tanah. Dan perpustakaan ini pernah menjadi inspirasi bagi dunia Barat untuk menerjemah ulang kebijaksanaan Yunani dan kearifan Timur. Ketika bahasa [Arab] tak lagi menjadi hambatan, maka cerlang-cemerlanglah bangsa-bangsa di Barat untuk menunai tugas-tugas pencerahan dan kemajuan. Barat yang menyerbu Timur-Dekat, mengalami kekalahan telak selama atau dalam perang salib. Tapi, serangan dari Timur, ikut memati dan menghanguskan peradaban Islam yang berpusar sekitar tanah diapit dua air [Tigris dan Eufrat @ Furat]. Inilah serangan dari Timur. Jauh di belakang hulu sejarah yang jauh, sebelum serangan dari Timur, ‘Kisah Tinggi’ mengenai Timur, terekam pula dalam al- Quran mengenai benteng Ja’juj dan Makjuj.
Keganasan dan keperkasaan orang-orang yang menyerang dari Timur itu memang tak tertandingi. Merekalah bangsa Mongolyang berserak di kawasan stepa subur di barat laut Tiongkok hari ini; menyerbu dan membawa warta kematian ke tanah-tanah sebelah barat. Orang-orang stepa ini dalam kuluman waktu berpuluh tahun telah amat dikenal sebagai bangsa yang gairah mera’ikan pembangunan menara-menara [tengkorak] kepala manusia. Namun setelah mereka menyerbu Baghdad, berubah arah membangun menara-menara masjid di hamparan stepa maha luas di sisi gurun Gobi. Seni bina @ arsitektur Islam bersinar, bertabur sanggam dan langgak memenuhi lembah dan bentang saujana stepa nan luas ini hingga hari ini. Mereka menjemput Islam dengan cara menyerbu.
Serangan dari Timur oleh bangsa Mongol-Turko yang bermastautin di plateau stepa, padang savana nan dingin menjadi kisah tinggi gelombang kedua dalam replika sejarah perjalanan panjang peradaban manusia. Islam masuk ke nusantara melalui peristiwa pasar. Lewat kisah jual-beli dan akad di pusat-pusat keramaian tepian selat dan sungai. Islam datang ke wilayah timur Asia, sebaliknya akibat dari kaum ini yang menyerbu pusat kecemerlangan Islam. Mereka menyerbu, dan sebaliknya mereka terserbuk oleh ‘virus’ Islam yang mereka serbu itu pula. Inilah ironi sekaligus surealisnya dunia yang menghidang misteri-misteri yang bersenandung dalam nada serba bertolak belakang, walau lebih banyak disebut sebagai peristiwa menyulam.
Sesuatu yang ganas dan keras senantiasa takluk dan berlutut di depan kelembutan dan haribaan serba lunak. Jika anda sempat berpesiar ke negara dua benua [Turki], tersaji masa lalu dan kekinian dalam batas centimeter. Anda ke Konya, wangi gubalan masa lalu Rumi, sekaligus mengharum gerak kuntum kaki para darwish hari ini dalam kemasan kekinian demi kelopak Islam yang hanif di hamparan tanah Turki. Ketika berjalan di lorong-lorong Istanbul, batas antara barat-timur, berubah, lalu menjelma dalam ukuran debu. Ketika bersenandung di Ankara, kelebat kepak urusan agama dan urusan negara jadi sesuatu yang terpisah sepanjang dinding supra rasional sebagai alat tawar mereka yang hidup berdampingan dengan warga Eropa yang barat-rasional. Sekularisme ialah pilihan rasional dalam respon masa lalu kontinental. Inilah marfologi sajian tanah-tanah lembut yang dikulum oleh masa lalu dan masa kini yang serba melodius. Lain lagi ketika anda menginjak kaki di sebuah tapak tanah yang secara geo-marfologis terjadi dalam rentang waktu jutaan tahun. Sebuah tapak tanah sempit yang banyak dikunjungi pelancong dunia. Inilah Cappadocia, terletak di Turki tengah. Dia jantung tanah ini. Serakan batu vulkanik yang diukir [terukir] dalam ukuran milenia. Inilah sudut keras kejadian tanah Turki, yang lunak oleh kelembutan manajemen kekinian. Secara lanskap dan arsitektural, wilayah Cappadocia amat mengganggu dan menggoda. Ini kawasan yang amat seksi dilihat dari terjangan-terjangan alam yang membentuk rangkaian seni instalatif. Bahwa lembut dan kaku-keras, seakan bersatu dalam gelora dan gairah yang menuju pada suatu inisiasi penceritaan dunia. Begitulah pertembungan antaraTimur dan Timur-Dekat, juga pertinjuan antara Timur-Dekat dengan Barat. Saling menjinak dan me”nawar”.
Serangan dari Timur, tercatat dalam sejarah besar dunia, sekaligus melahir sederet nama-nama gagah; Jenghis Khan [nama dodoi kecil Temujin] begitu juga ada bilangan nama, Timerleng. Serangan ini juga mempersembah melodia diplomasi @ perundingan antara puak Islam dengan para penakluk timur di kemah-kemah yang berdiri gerun dengan tancapan kaki kemah yang kukuh di atas tanah Hammurabbi. Jalur timur ini juga menjadi garis ‘jalan sutera’ [silk road] yang menawan hati sejarah hingga hari ini. Orang stepa inilah yang merintis jalur ke Barat dan membawa kembali Islam masuk ke tanah Timur. Malah jauh sebelum itu, interaksi dengan Mesir juga terjadi, sehingga meledak pula penemuan kertas di Timur yang sebenarnya dalam dugaan tegas terpengaruh oleh tradisi tulis era Mesir kuno pada sebuah titik bernama Papyrus [paper @ kertas].
Negeri-negeri dengan bentangan benua, sebagian besar berwajah imperium. Namun negeri-negeri berwawasan maritim, juga memiliki sejarah yang gagah dan sasa dalam tabiat imperialisme; perilaku dasar yang bernafsu menambah tanah-tanah taklukan baru. Inggris, Spanyol di antara yang berwawasan maritim demi menjilat tanah-tanah jauh dan taklukan. Begitulah serang-menyerang dalam kaidah bertetangga adalah sebuah jalan mencari dan urai menuju keseimbangan baru. Di celah gesekan, sekecil apapun gesekan itu, akan menghasil sebuah dialog yang saling mengisi sekaligus memperkaya dimensi peradaban yang mengalami gesekan itu.
Pembawaan sejati dari hidup berjiran itu, tak selamanya saling lempar senyum. Takluk-menakluk adalah ihwal datar dan normal dalam hubungan berjiran-tetangga. Gesekan dalam bentuk apapun, mendorong sebuah stilasi kecerdasan baru. Dari kecerdasan baru ini, peradaban yang saling bergesek itu, akan menjalani fase-fase menuju equilibrium baru. Bahwa konflik merupakan bawaan dinamis dan fungsional dalam kehidupan masyarakat antar bangsa. Pilihan menyerbu dan menakluk, juga memberi sumbangan bermakna dalam sejarah manusia. Tentang ihwal serangan nan perkasa, sesungguhnya sang penyerang, senantiasa mencuri dan mengutip ceceran remah yang dianggap mustika sepanjang retas remah bekas taklukan [pihak kalah]. Artinya, yang menyerang, sebenarnya diserang oleh elemenen-elemen lembut, oleh penciptaan karya seni tinggi dan ranggi. Termasuk sistem bahasa.
Bangsa stepa yang superior secara fisik-militer, namun sepulang dari tanah taklukan itu, mereka diserbu dan ditakluk oleh pemikiran-pemikiran Islam yang membaharu untuk zaman itu. Cita rasa hidup Islam yang hanif dan menjulang prinsip-prinsip universalitas. Maka, dunia yang terbentang ini adalah dunia yang bertolak dari prinsip serba walau. Dan, walau itu sendiri adalah sempadan antara kuat dan dhaifnya sang penakluk dan ditakluk. Dan, walau adalah makna hakiki tentang keterbatasan manusia yang menakluk di satu sisi, dan di sisi lain sesungguhnya dia ditakluk pada sudut jiwa yang berlekuk. Maka, walau bangsa-bangsa stepa yang gagah sasa itu datang dengan penaklukan demi penaklukan, sesungguhnya mereka ditakluk. Dan takluk…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H