Tiba- tiba, Sri Mulyani bak Cinderella dalam dongeng yang lahir di dunia nyata. Disaat dia teraniaya oleh Ibu tiri dan saudara-saudara tirinya, muncul sang pangeran yang menyelamatkannya. Dongeng menjadi semakin dialogis saat kita para pengagum Cinderella dapat mencaci-maki Ibu dan saudara-saudara tirinya.
"Mengapa kau caci maki Cinderella ? tidakkah kau lihat betapa istimewa dia, cantik, pintar, dan rendah hati. Bahkan pangeran yang mulia melamarnya ?".
Dalam plot cerita ini, kita diposisikan sebagai kaum bawahan yang tertindas. Dimana kita dibawa oleh pendongeng untuk larut dalam penderitaan seorang Cinderella, yang sebenarnya bukanlah 'kasta' kita - melainkan anak majikan juga. Selanjutnya, posisi kita menjadi semakin rendah lagi saat sang pangeran datang meminang Cinderella.
Saat para penggemar Sri Mulyani pun meratap-ratap kepergian sang pujaan hati, mereka juga mencaci maki 'penganiaya' beliau. Kepergiannya diratapi bak pahlawan yang tidak dihargai, sekaligus mencaci-buta seolah-olah tidak ada orang lagi dari 250 juta penduduk Indonesia yang pantas menggantikan posisinya. Lebih parah lagi, secara tidak langsung mereka memuja-muja Bank Dunia sebagai pangeran penyelamat bagi sang puteri. Politikus Indonesia (maaf) digoblok-goblokkan karena tidak bisa melihat profesionalitas Sri Mulyani yang justru diakui oleh World Bank. Padahal selain profesional, sebenarnya orang-orang World Bank juga politikus.
Selain itu, penggemar sang Cinderella melihat Amerika tak ubahnya Kahyangan, dan WB adalah istana impian yang tak tersentuh. Mereka bangga bahwa orang yang selama ini adalah bagian dari "kita" akan masuk ke istana impian tersebut, dengan harapan suatu saat kita bisa merasakan sepercik kebahagiaan sang Cinderella di Istana. Sebentar lagi Cinderella akan hidup bahagia, dia tidak akan lagi di caci maki dan dianiaya di rumahnya yang pengap. Dia akan hidup serba berkecukupan, bergelimangan harta dan kemewahan istana. Sang Cinderella telah menemukan jalan hidupnya.
Saat buku dongeng ditutup dan melodi-melodi indah itu berlalu. Kita baru sadar kembali bahwa kita masih hidup di sini, di rumah pengap yang penuh dengan debu. Cinderella sudah bahagia di Istana sementara kita masih melanjutkan pertarungan melawan derita. Kita boleh berharap suatu saat Cinderella akan mengingat dan membantu kehidupan kita.
Sayangnya, Sri Mulyani bukanlah Cinderella.
Sri Mulyani adalah Menteri Keuangan dengan Gaji, Tunjangan dan Remunerasi yang tentunya sangat tinggi. Dia juga menikmati berbagai hal mulai dari fasilitas negara hingga popularitas. Maka kepindahannya ke World Bank pasti bukan semata-mata karena kenaikan karir dengan gaji dan tunjangan lebih tinggi, namun juga membawa agenda-agenda dan kepentingan Indonesia yang kita tidak tahu itu apa. Dia hanya pindah dari satu istana ke istana lain yang lebih besar.
Jadi, kenapa mesti meratap-ratap ?. Masing-masing "kita" pasti bisa merubah nasib dan memperbaiki bangsa ini. Kurang elok rasanya menggantungkan nasib perekonomian bangsa hanya pada seorang Sri Mulyani. Dia hanyalah salah satu dari sekian banyak "kita" yang mampu membawa bangsa ini kearah yang lebih baik. Jangan khawatir, sebentar lagi akan muncul Sri-Sri yang baru yang lebih hebat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H