Malam itu adalah malam terakhir, setiap jengkal tanah di republik ini sudah berdiri tempat-tempat pemungutan suara.
Besok orang-orang akan berduyun duyun datang, membubuhkan tanda tangan, mencoblos empat lembar kertas suara lalu memasukkan ke kotak suara, ditutup dengan mencelup jari kelingking dengan tinta ungu gelap.
Tapi malam itu jalanan begitu ramai nya. Beberapa orang tampak bergerombol di warung kopi, menyantap secangkir kopi kental manis dan pisang goreng dengan mata melotot ke arah televisi. Mulutnya nyerocos silih berganti bak komentator yang lebih jago dari nara sumber di televisi. Tapi sebenarnya bukan kopi, televisi atau obrolan itu yang mereka nikmati.
Malam itu mereka menunggu... mereka menunggu serangan fajar.
Serangan fajar kini sudah tidak lagi bermakna harfiah seperti dulu, dilakukan di pagi hari. Serangan fajar bisa dilancarkan siang, sore, malam bahkan larut malam. Sejak kemarin berhembus kabar beberapa warga sudah menerima uang dari beberapa calon legislator (Caleg). Jumlahnya bervariasi mulai dari dua puluh, tiga puluh dan lima puluh rupiah. Bahkan sore tadi terdengar kabar bahwa Bang Somat dari kampung sebelah membagikan uang seratus ribu dari seorang Caleg perempuan.
Kabar itulah yang membuat warga di kampung ini berkumpul di warung kopi, berharap Bang Somat melihat kerumunan, artinya simpul massa, lalu membagi uang kepada mereka. Kalau bukan Bang Somat, ya... semoga tim sukses yang lain.
Sebagian orang menganggap uang jenis ini haram, merusak moral dan demokrasi. Sebagian lagi menganggap rejeki. Toh kalau mereka jadi, duit rakyat juga yang dijadikan pengganti. Asal yang memberi ikhlas tidak mengapa. Bagi yang merasa ragu-ragu, uang serangan fajar tidak dibelikan makanan biar nanti tidak jadi daging di tubuh.
Orang kampung sini bukannya semata berharap mendapat uang serangan fajar. Beberapa mungkin iya, tapi sebagian besar lebih didorong oleh rasa penasaran: "Apakah benar serangan fajar itu ada?"
Kalau ada, orang-orang penasaran berapa besar jumlahnya. Semakin besar jumlah yang didapat, makin besar kebanggaan yang dapat diceritakan pada warga lain.
Kalau tidak ada, warga merasa resah
Ada apa ini?, kampung sebelah dapat kok kampung sini tidak dapat?
Apa bedanya warga kampung sebelah dengan kampung sini?
Apa kampung sebelah dianggap lebih berkomitmen, padahal mereka paling juga tidak mencoblos yang ngasih uang.
Atau.. Atau... Atau....
Sesungguhnya, orang-orang kampung sini merasa malu kalau dimana-mana, orang mendapat serangan fajar tapi disini tidak. Jika sampai orang kampung-kampung sebelah tahu kampung ini tidak dapat apa-apa, kami pasti jadi bahan ejekan.
Berapapun uang serangan fajar didapat, tidak masalah! Yang penting ada. Sehingga pada saat orang kampung sebelah bercerita serangan fajar yang diperolehnya dengan penuh kebanggaan, orang kampung sini masih punya harga diri.
"Serangan fajar memang perbuatan illegal" kata pakar hukum dan politik di televisi. Uang serangan fajar dipandang sebagai barang nista karena itulah bentuk money politik yang merusak dan menghancurkan proses demokratisasi. Jangan berharap negara ini menjadi maju jika demokrasi dan kekuasaan ditegakkan dari politik uang. Sehingga mereka yang menerima uang serangan fajar, tidak berhak berharap Indonesia yang lebih baik!
Tetapi dari kacamata orang-orang di kampung ini, serangan fajar adalah hal yang paling ditunggu karena menjadi simbol status, yang mengeluarkan mereka dari perasaan terkucilkan, perasaan terkecualikan, perasaan terdiskriminasikan, perasaan menjadi warga terkutuk yang seret rezeki.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H