Mereka berdua terdiam, menikmati keheningan sore itu. Namun, Lina merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi kata-kata itu terasa begitu sulit keluar.
"Ada yang ingin kamu katakan?" tanya Ardi, seolah bisa membaca perasaan Lina.
Lina menunduk, menggigit bibirnya. "Aku... Aku hanya merasa bahwa kita seperti ada di dunia yang berbeda. Meskipun kita sering berbicara, aku tak tahu apa yang sebenarnya kamu rasakan."
Ardi terdiam, lalu berkata perlahan, "Aku merasa hal yang sama. Kita memang sering berbicara, tapi entah kenapa, aku selalu merasa ada jarak di antara kita."
Lina menoleh pada Ardi, matanya berbinar. "Lalu, apa yang bisa kita lakukan?"
Ardi menghela napas, menatap wajah Lina dengan penuh arti. "Mungkin, kita hanya perlu memberi waktu. Waktu untuk mengenal lebih dalam, dan mungkin... waktu untuk mencintai dengan lebih nyata."
Lina merasa hatinya berdebar. Ia tahu, apa yang Ardi katakan adalah hal yang sulit, tetapi juga sebuah harapan yang tak bisa ditolak. Mereka berdua diam sejenak, membiarkan perasaan itu meresap dalam keheningan sore.
Pada akhirnya, Lina tidak pernah mengucapkan kata cinta dengan jelas. Namun, dalam setiap tatapan, dalam setiap senyum yang mereka bagi, cinta itu mulai tumbuh, meski tak terucap.
Beberapa bulan kemudian, Ardi memutuskan untuk tinggal lebih lama di desa itu. Ia merasa, di tempat ini, ia bisa menemukan kedamaian dan inspirasi yang lebih dari sekadar lukisan. Lina pun merasa, meski cinta tak selalu perlu diungkapkan, kadang-kadang ia hanya perlu dirasakan, dalam diam yang penuh makna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H