Mohon tunggu...
Yusi Nuraeni
Yusi Nuraeni Mohon Tunggu... Guru - Penulis Amatir

Penulis Amatir

Selanjutnya

Tutup

Diary

Menilik Childfree: Opini Singkat Mengenai "Pilihan untuk Tidak Memiliki Keturunan"

18 November 2024   10:06 Diperbarui: 18 November 2024   10:42 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Desain pribadi via canva.com

Peningkatan Tren Childfree di Kalangan Perempuan Usia Subur di Indonesia

Indonesia menghadapi perubahan sosial yang signifikan terkait dengan pilihan reproduksi, khususnya di kalangan perempuan usia subur. Fenomena childfree, di mana individu atau pasangan memutuskan untuk tidak memiliki anak, baik secara biologis maupun melalui adopsi, telah menjadi topik hangat di berbagai media. Laporan terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan bahwa terdapat peningkatan jumlah perempuan usia subur di Indonesia yang memilih untuk tidak memiliki anak.

Menurut data BPS, sekitar 71 ribu perempuan Indonesia usia subur (15-49 tahun) telah memilih untuk childfree, dengan angka ini menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam empat tahun terakhir. Fenomena ini lebih banyak ditemukan di Pulau Jawa, dengan dominasi di DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten. Alasan di balik keputusan ini bervariasi, mulai dari faktor ekonomi hingga alasan pribadi, sosial, dan kesehatan.

Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Indonesia, Veronica Tan, memberikan tanggapan mengenai fenomena ini. Beliau menyatakan bahwa perempuan dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi cenderung memilih childfree setelah menyaksikan berbagai kasus dalam rumah tangga. Mereka memandang anak sebagai beban jika tidak dapat memberikan yang terbaik dari segi kualitas hidup. 

Jika kita melihat berdasarkan informasi tersebut, Di tengah kondisi demografis dan ekonomi global yang berubah, meningkatkan pasangan muda memilih untuk tidak memiliki anak. Keputusan ini seringkali dianggap sebagai respons pragmatis terhadap berbagai tantangan zaman, seperti peningkatan populasi manusia, persaingan kerja yang semakin ketat, dan biaya hidup yang terus meroket.

Namun, pilihan hidup childfree ini bukanlah konsep yang baru, tetapi memang popularitasnya semakin meningkat di berbagai belahan dunia. Alasan di balik keputusan ini bervariasi, mulai dari keinginan untuk fokus pada karier, kebebasan finansial, hingga kekhawatiran akan masa depan lingkungan dan sosial. Di Indonesia, tren ini juga mulai mendapatkan perhatian, terutama di kalangan generasi muda yang menghadapi tekanan ekonomi dan sosial.

Dalam konteks Indonesia, di mana nilai keluarga dan keberlanjutan keturunan masih dipegang teguh, pilihan childfree bisa menimbulkan diskusi yang intens. Namun, penting untuk memahami bahwa setiap individu atau pasangan memiliki otonomi atas keputusan mereka sendiri terkait dengan perencanaan keluarga. Keputusan untuk tidak memiliki anak dapat dianggap sebagai langkah yang realistis dan bertanggung jawab, terutama jika dipandang dari sudut pandang kesejahteraan anak dan kualitas hidup yang dapat mereka berikan.

Dengan pertumbuhan populasi yang tidak terkendali dapat menimbulkan berbagai masalah sosial dan ekonomi, seperti pengangguran, kemiskinan, dan ketidaksetaraan. Oleh karena itu, beberapa orang berpendapat bahwa dengan memilih untuk tidak memiliki anak, mereka dapat berkontribusi pada solusi jangka panjang dari masalah-masalah tersebut. Selain itu, mereka juga dapat lebih fokus pada pengembangan diri dan kontribusi sosial dalam bentuk lain.

Tentu saja, pilihan hidup childfree tidak bebas dari kontroversi. Ada yang mengkritik pilihan ini sebagai tindakan egois atau pesimis. Namun, penting untuk diingat bahwa setiap pilihan hidup memiliki kompleksitasnya sendiri dan tidak ada jawaban yang benar atau salah secara mutlak. Masyarakat harus menghormati keputusan individu dan pasangan dalam menentukan jalur hidup mereka sendiri.

Pada akhirnya, pilihan hidup childfree adalah salah satu dari banyak cara individu dan pasangan menanggapi tantangan zaman. Ini adalah pilihan pribadi yang harus dihormati dan dipahami dalam konteks yang lebih luas dari dinamika sosial dan ekonomi saat ini. Dengan dialog yang terbuka dan empati, kita dapat menciptakan masyarakat yang inklusif dan mendukung keberagaman pilihan hidup setiap orang.

Di sisi lain, perempuan yang kurang berpendidikan dan tidak memiliki informasi yang cukup tentang pernikahan cenderung memilih pernikahan dini, yang sering kali berujung pada memiliki banyak anak tanpa perencanaan yang matang. Hal ini dapat memicu berbagai masalah, termasuk ekonomi dan kesehatan mental.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun